Sepanjang perjalanan bangsa ini, Indonesia baru saja secara resmi dipimpin oleh presidennya yang kedelapan. Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Purn) Prabowo Subianto menjadi presiden kedelapan yang dilantik pada 20 Oktober 2024 yang lalu. Prabowo yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya, menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 dengan perolehan suara sebesar 96.214.691 suara atau 58,59% dari total suara sah nasional dan memenuhi sedikitnya 20 persen perolehan suara di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Penetapan tersebut meliputi perolehan suara di 38 provinsi dan 128 wilayah di luar negeri (rumahpemilu.org, 24/4).
Pemerintahan Prabowo-Gibran rencananya akan didukung oleh 103 orang pembantu presiden dan wakil presiden yang terdiri menteri, wakil Menteri, kepala badan dan utusan khusus (kompas.com, 18/10). Dari 103 orang tersebut, terdapat 49 orang yang menempati posisi menteri atau kepala badan. Kemudian, 54 orang lainnya akan menjadi wakil menteri atau utusan khusus.
Jumlah ini jelas lebih banyak dibandingkan dengan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan 30 kementerian dan 4 kementerian koordinator. Bahkan jika dibandingkan dengan periode Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) baik pada periode 2004-2009 dan 2009-2014. Dimana pada Pemerintahan SBY di periode 2004-2009 terdapat 36 kementerian dan di periode 2009-2014 sebanyak 34 kementerian.
Prabowo mengungkapkan alasannya membentuk kabinet pemerintahan yang lebih besar dibanding pada pemerintahan periode-periode terdahulu. Menurutnya, kabinet yang gemuk itu diperlukan untuk membangun pemerintahan yang kuat. Selain itu, Prabowo juga beralasan bahwa karena Indonesia adalah negara besar. Dengan menjunjung tinggi persatuan, perlu untuk merangkul semua kekuatan, sehingga masing-masing pihak memiliki perwakilan dalam kabinetnya nanti. Melalui cara tersebut, dapat terbentuk suatu kolaborasi dan kerukunan di Indonesia (tempo.co, 10/10).
Besarnya kabinet Prabowo-Gibran akan dihadapkan dengan beragam tantangan di berbagai bidang, baik dari dalam negeri maupun akibat pengaruh global. Akan tetapi, salah satu yang menjadi kekhawatiran adalah persoalan merosotnya demokrasi di Indonesia. Dalam laporan “Democracy Index 2023: Age of Conflict” yang dirilis Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari tahun 2022 (skor 6,71). Dengan skor tersebut, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed democracy). Kondisi yang sama ditunjukkan oleh data dari Freedom House, di mana nilai indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 pada tahun 2019 menjadi 57 pada tahun 2024 (Muamar, 2024).
Bahkan data dari Indeks Demokrasi Indonesia tahun 2023 yang dirilis oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) menunjukkan penurunan 0,90 poin dibandingkan pada tahun 2022. Pada tahun 2022, Indeks Demokrasi Indonesia sebesar 80,41 poin turun menjadi 79,51 poin di tahun 2023. Penurunan terjadi karena disebabkan meningkatnya hambatan kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, serta kemerdekaan pers (Kompas.com, 11/06).
Kondisi ini yang kemudian harus dapat dijawab oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran dengan mendorong penguatan demokrasi di Indonesia. Para pembantu presiden dan wakil presiden harus dapat menerjemahkan dan mengimplementasikan poin pertama dari delapan misi pasangan Prabowo-Gibran atau Asta Cita, yakni memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM). Tentunya hal ini bukan sesuatu hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan.
Poin pertama Asta Cita pasangan Prabowo-Gibran diharapkan bukan hanya untuk memenuhi dokumen visi-misi calon presiden dan wakil presiden ketika akan ikut kontestasi pada Pemilu 2024 yang lalu. Oleh karena itu, pertama, Pasangan Prabowo-Girban harus berkomitmen menjalankan misi tersebut dengan menjamin kebebasan berpendapat, kebebasan mimbar akademik, kebebasan berekspresi, kebebasan berkeyakinan dan beribadat, serta kemerdekaan pers di Indonesia.
Kedua, mendorong Pemerintahan Prabowo-Gibran melalui kementerian terkait, meninjau ulang dan merevisi aturan-aturan yang menghambat kebebasan berpendapat, kebebasan mimbar akademik, kebebasan berekspresi, kebebasan berkeyakinan dan beribadat, serta kemerdekaan pers di Indonesia sebagai program prioritas 100 hari pertama pemerintahannya.
Aturan-aturan yang perlu ditinjau ulang dan direvisi seperti, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain itu, aturan diskriminatif dalam pendirian rumah ibadat, seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Ketiga, mendorong Pemerintahan Prabowo-Gibran dalam proses pembuatan kebijakan pada seluruh kementerian dan badan untuk membuka seluas-luasnya partisipasi publik. Hal ini penting untuk menjawab persoalan sempitnya ruang partisipasi publik dalam proses kebijakan di Indonesia selama ini.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
arfianto@theindonesianinstitute.com