Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2021, menunjukkan bahwa ketimpangan gender masih menjadi masalah serius. Studi yang dilakukan oleh Kearns et al. (2020) di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa kekerasan seksual berasosiasi dengan ketimpangan gender di suatu wilayah. Negara bagian di AS yang memiliki Indeks Ketidaksetaraan Gender (Gender Inequality Index/GII) yang tinggi juga memiliki kasus kekerasan seksual yang tinggi, dan begitu pula sebaliknya.
Pada konteks Indonesia, data terbaru United Nations Development Programme (UNDP, 2019) menunjukkan bahwa GII Indonesia saat ini sebesar 0,480. Besaran indeks tersebut menempatkan Indonesia pada posisi negara dengan ketidaksetaraan gender ke-121 dari total 162 negara. Beberapa aspek yang digunakan untuk mengukur GII diantaranya kesehatan reproduksi, pemberdayaan, dan tenaga kerja perempuan dibanding laki-laki. GII dianggap dapat menjadi salah satu cara untuk menggambarkan kondisi sosial suatu wilayah yang pada akhirnya berkaitan dengan diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam GII, aspek kesehatan reproduksi diukur dengan indikator rasio kematian ibu dan angka kelahiran pada remaja. Aspek pemberdayaan diukur dengan persentase kursi di parlemen yang diduduki oleh perempuan dan jumlah penduduk yang telah menempuh pendidikan minimal hingga sekolah menengah. Sementara, aspek tenaga kerja diukur dengan tingkat partisipasi tenaga kerja laki-laki dan perempuan di suatu negara.
Jika melihat perkembangan GII dari masa ke masa, di tahun 1995 GII Indonesia sebesar 0,578. Sedangkan di tahun 2015 sebesar 0,467. Data tersebut jika dibandingkan dengan data terakhir di tahun 2019, GII Indonesia sebesar 0,480, terlihat bahwa ketimpangan gender lebih besar dibandingkan tahun 2015. Pencapaian GII Indonesia tahun 2019 (0,480) hampir setara dengan tahun 2011 (0,481). Artinya, dalam satu dekade terakhir, belum ada perbaikan kesetaraan gender yang berarti. GII cenderung stagnan. Fakta tersebut sekaligus menunjukkan belum maksimalnya pengarusutamaan gender (PUG) dalam pembangunan yang telah digaungkan sejak awal era reformasi.
Perkembangan Kesetaraan Gender di Indonesia
Gagasan kesetaraan gender tidak sepenuhnya berasal dari luar. Walaupun data GII menunjukkan parahnya ketidaksetaraan gender di Indonesia, namun beberapa daerah di Indonesia sebenarnya telah menjunjung kesetaraan gender sejak masa pra kemerdekaan. Adanya sejumlah pahlawan perempuan seperti Cut Nyak Dien (1848-1908), Cut Nyak Meutia (1870-1910), dan Laksamana Malahayati (1550-1615) dari Aceh; Martha Christina Tiahahu (1800-1818) dari Maluku; serta Nyi Ageng Serang (1752-1838) dari Jawa Tengah menunjukkan bahwa di masa lampau, perempuan di berbagai daerah telah terlibat dalam proses politik, diantaranya yakni turun dalam medan perang dimana mayoritas pelakunya adalah laki-laki.
Selanjutnya, dua dekade pertama masa kemerdekaan, kiprah perempuan ditandai dengan adanya organisasi-organisasi perempuan, baik yang telah berdiri sejak pra kemerdekaan maupun yang berdiri pasca Indonesia merdeka. Secara garis besar, gerakan perempuan paska kemerdekaan memperjuangkan persamaan hak sosial dan politik seperti pendidikan, kesempatan bekerja, poligami, dan masalah sosial politik lainnya (Darwin, 2004).
Bahkan, poligami yang dilakukan oleh Presiden Soekarno kala itu ditentang oleh Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) dengan mendesak dibuatnya UU Perkawinan (Gunawan dalan Darwin, 2004). Hingga pada akhirnya di masa Orde Baru, di bawah kepemimpinan Soeharto UU Perkawinan Tahun 1974 disahkan. UU tersebut menunjukkan keberpihakan negara terhadap perempuan. Walaupun pada konteks saat ini, ada beberapa pasal dalam UU tersebut yang perlu direvisi.
Di sisi lain, terdapat beberapa kebijakan pemerintah di masa Soeharto yang mereproduksi subordinasi perempuan dan superioritas laki-laki dengan dibuatnya organisasi-organisasi isteri seperti isteri pegawai negeri (Dharma Wanita), isteri militer (Persit Kartika Candra Kirana) dan lain-lain. Dalam kelembagaan Dharma Wanita, posisi perempuan bergantung pada posisi suami mereka dalam pemerintahan, bukan prestasi perempuan itu sendiri. Organisasi tersebut menegaskan perempuan sebagai pendamping (konco wingking) yang posisinya bergantung pada status laki-laki.
Selain itu, masa Soeharto adalah masa kooptasi organisasi masyarakat. Banyak organisasi masyarakat yang dipaksa melebur menjadi satu dengan organisasi yang berada di bawah kontrol negara. Organisasi masyarakat, termasuk diantaranya organisasi perempuan menjadi kehilangan kemandirian dan memiliki ruang gerak yang terbatas. Sebagai contoh, Perwari yang merupakan organisasi perempuan terbesar saat itu dipaksa bergabung dengan Golongan Karya (Golkar) pada 1978. Kooptasi tersebut sama dengan pemberangusan ide dan bertentangan dengan nilai demokrasi.
Keluar Dari Stagnasi Ketimpangan Gender
Berdasarkan tinjauan terhadap lintasan sejarah diatas, menunjukkan bahwa pada dasarnya, beberapa wilayah di Indonesia telah mengedepankan kesetaraan gender dalam proses sosial dan politik di masa lampau. Praktik baik tersebut patut dibangun kembali. Meskipun saat ini Indonesia tengah dihadapkan dengan permasalahan ketimpangan gender yang tinggi.
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan gender kembali diantaranya: pertama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Kedua RUU tersebut penting untuk menghapuskan berbagai bentuk diskriminasi yang dialami oleh perempuan, salah satunya diskriminasi kekerasan seksual. RUU tersebut juga dapat digunakan untuk mendorong implementasi pengarusutamaan gender dalam segala proses pembangunan, termasuk pembangunan indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur GII.
Selain mendorong pengesahan kedua RUU tersebut, upaya lain yang dapat dilakukan adalah menggencarkan wacana dan sosialisasi mengenai kesetaraan gender di masyarakat. Langkah ini dapat dilakukan oleh media, organisasi masyarakat sipil, lembaga riset, dan semua individu yang sadar gender. Penggencaran wacana kesetaraan gender merupakan bagian dari upaya bottom-up untuk memperluas kesadaran gender di masyarakat. Dengan seimbangnya upaya top-down (pembentukan UU) dan bottom-up, harapannya GII Indonesia semakin mendekati nol (0) dan kesetaraan gender dapat terwujud kembali.
Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)