Polemik tentang ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) kembali mengemuka. Hal tersebut juga muncul setelah Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengusulkan agar PT dinaikkan menjadi 7 persen pada acara ulang tahun Partai- Nasdem pada tanggal 11 November lalu. Surya mengatakan hal ini dilakukan untuk mewujudkan pelembagaan demokrasi yang matang dan berkualitas bagi kehidupan politik Indonesia (republika.co.id, 11/11).
Sebelumnya, usulan untuk menaikkan ambang batas menjadi 7 persen juga disuarakan oleh beberapa partai politik dalam rangka merevisi Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), yang menyatakan bahwa parpol peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah nasional untuk bisa memperoleh kursi DPR. Alasan mereka sama seperti yang disampaikan Surya Paloh, bahwa dengan menaikkan ambang batas parlemen akan menciptakan lembaga parlemen yang sederhana dan stabil (antaranews.com, 14/6/2020).
Usulan menaikkan ambang batas ini bukan tanpa penolakan. Penolakan disuarakan oleh partai yang duduk di parlemen maupun yang di luar parlemen. Partai-partai di dalam parlemen seperti, Partai Demokrat, PAN dan PPP menolak untuk dilakukannya perubahan ambang batas. Sementara, partai-partai yang berada di luar parlemen, seperti PBB dan PSI juga ikut menolak usulan tersebut.
Ada dua alasan mereka menolak kenaikan ambang batas. Pertama, kenaikan ambang batas akan semakin memberatkan partai untuk masuk ke parlemen. Kedua, menaikkan ambang batas tidak menjamin penyederhanaan partai politik. Hal ini terbukti di beberapa pemilu sebelumnya ketika kenaikan ambang batas diberlakukan, hal ini tidak serta merta membuat penyederhanaan partai politik di parlemen.
Ketiga, kenaikan ambang batas belum tentu menguatkan konsolidasi demokrasi dan sistem presidensial. Hal ini kemudian malah menguatkan kekhawatiran masyarakat sipil tentang kuatnya oligarki politik di Indonesia. Keempat, dengan menaikkan ambang batas akan membuat suara pemilih banyak yang terbuang.
Memperhatikan alasan penolakan di atas, maka usulan kenaikan ambang batas menjadi tujuh persen dengan tujuan untuk menciptakan lembaga parlemen yang sederhana dan efektif menjadi tidak relevan. Mungkin saja lembaga parlemen menjadi lebih sederhana dengan hanya beberapa partai politik yang duduk di kursi legislatif, sehingga dapat dianggap efektif menjalankan kekuasaan mereka.
Namun, patut juga diingat, jika banyak suara-suara pemilih yang tidak terwakili maka hal ini akan mengurangi legitimasi. Legitimasi adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap kewenangan dan kekuasaan (Hermawan, 2001). Legitimasi itu sendiri pun, selalu berkelindan dengan kewenangan dan kekuasaan. Dalam konteks Pemilu, pemilih telah memberikan mandat dalam bentuk suara kepada yang dipilihnya untuk mewakili aspirasi mereka di parlemen. Di sisi lain, pemilih menerima dan mengakui kewenangan dan kekuasaan parlemen sebagai lembaga yang mewakili mereka. Namun, jika suara pemilih banyak yang tidak terwakil maka hal tersebut mengurangi legitimasi mereka sebagai wakil rakyat.
Ditambah lagi, mengingat selama ini ikatan antara partai politik dengan pemilih sangat rendah. Hal ini sebagaimana tergambarkan dari beberapa hasil survei yang menyatakan rendahnya ikatan pemilih dengan partai. Misalnya, hasil survei Politika Research and Consulting (PRC) dan Parameter Politik Indonesia (PPI) pada awal tahun 2020, yang menyatakan 85,9 persen responden tidak merasa memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu. Sementara, hanya 14,1 persen yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu (republika.co.id, 24/2/2020). Bahkan sebelumnya, di tahun 2017, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyatakan hanya 11,7 persen warga Indonesia yang memiliki kedekatan dengan partai yang diyakininya (kbr.id, 3/1/2018).
Belum lagi, jika kita melihat rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Seperti dalam hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di tahun 2019, yang menyatakan hanya 53 persen masyarakat Indonesia yang mempercayai partai politik dan 61 persen mempercayai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Katadata.co.id, 29/8/2019).
Hasil-hasil survei di atas seharusnya menjadi gambaran bagi partai politik untuk memikirkan secara matang fungsi mereka dalam keterwakilan politik. Apalagi beberapa waktu belakang ini, partai politik dan parlemen dianggap gagal memenuhi fungsi representasi dengan mengesahkan UU yang menjadi kontroversi di masyarakat. Misalnya pengesahan UU Cipta Kerja yang dianggap menguntungkan pengusaha dan merugikan secara ekonomi bagi tenaga kerja. Pengesahan UU tersebut juga dianggap tidak sensitif terhadap kondisi tenaga kerja di tengah kondisi menurunnya perekonomian nasional karena pandemi COVID-19.
Jika masyarakat saja tidak lagi mempercayai partai politik sebagai institusi demokrasi, maka tak ayal hal ini juga akan mempengaruhi legitimasi parlemen sebagai representasi rakyat dalam sistem demokrasi. Hal ini pulalah yang kemudian dinamakan oleh sosiolog Jurgen Habermas sebagai krisis legitimasi.
Habermas menggambarkan krisis legitimasi sebagai proses yang saling bertautan antara sistem ekonomi, sistem politik, dan sistem sosio-kultural. Gagalnya sistem politik dalam mengelola loyalitas massa ditambah dengan gagalnya sistem ekonomi dalam mengelola benturan kepentingan antara pemilik modal dan kepentingan massa berujung pada krisis identitas. Krisis identitas yang kemudian akan menjadi ancaman bagi integrasi sosial di masyarakat (Habermas, dikutip dalam Tjahyadi, 2012).
Oleh karena itu, sudah semestinya upaya untuk menaikkan ambang batas parlemen ditolak. Karena jika tidak, partai politik akan semakin dianggap sebagai lembagai perwakilan segelintir elit dan bukan sebagai perwakilan rakyat. Pilar demokrasi juga nantinya juga akan sulit menghadapi konteks keberagaman di Indonesia, serta pada akhirnya akan membawa Indonesia pada krisis legitimasi.
Arfianto Purbolaksono – Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com