Polemik Revisi UU Pemilu

Polemik tentang revisi Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 2017 tentang  Pemilihan Umum (Pemilu) bergulir setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menyetujui 33 RUU serta 5 RUU Kumulatif dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.

Hal tersebut membelah sejumlah fraksi di DPR. Fraksi-fraksi di DPR sebagai representasi partai politik memperdebatkan sejumlah isu dalam revisi UU tersebut. Tarik menarik kepentingan tidak terelakan dalam pembahasan revisi UU tersebut.

Beberapa isu yang menjadi  perdebatan, misalnya:  yaitu pertama, yakni pilihan pengguna sistem pemilu terbuka, tertutup, atau campuran. Kedua, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan presiden (presidential threshold). Ketiga, sistem konversi penghitungan suara ke kursi.

Keempat, pertimbangan besaran kursi per daerah pemilihan (distric magnitude). Kelima, mengenai keserentakan pemilu dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Keenam, digitalisasi pemilu. Namun melihat perkembangan saat ini, polemik tentang UU Pemilu berujung kepada dua opsi yakni setuju dilakukannya revisi atau tidak setuju dilakukannya revisi.

Sebagai sebuah produk kebijakan, keputusan untuk setuju atau tidak setuju terhadap revisi UU Pemilu harus berdasarkan argumentasi yang tepat dan berdasarkan kepentingan umum. Mengutip pendapat Thomas R. Dye (2006) yang menyatakan “whatever government chooses to do or not to do”.

Pada proses pembuatan kebijakan, tahap yang paling krusial adalah ketika DPR dan Pemerintah tidak dapat menemukan akar dari masalah dari penyelenggaraan Pemilu selama ini.

Jangan sampai DPR dan Pemerintah membuat keputusan berdasarkan kepentingan untuk Pemilu 2024, tetapi gagal dalam menemukan masalah dari penyelenggaraan Pemilu. Kegagalan dalam tahap perumusan masalah ini disebut oleh William N. Dunn (2003) sebagai kesalahan “tipe ketiga”.

Kesalahan “tipe ketiga” dijelaskan oleh Kimball, sebagaimana dikutip oleh Mittroff dan Betz (1972) sebagai “kesalahan yang dilakukan dengan memberi jawaban terhadap masalah yang salah”. Kegagalan dalam menemukan permasalahan yang tepat akan membuat permasalahan akan selalu berulang di setiap Pemilu.

Para pemangku kebijakan harus dapat dengan jernih memikirkan keputusan tentang UU Pemilu. Karena UU Pemilu merupakan bagian dari desain demokrasi Indonesia di masa depan. Oleh karena itu, untuk mengambil keputusan kebijakan yang tepat maka para pemangku kepentingan harus dapat membuka ruang aspirasi yang luas, karena UU Pemilu bukan hanya kepentingan partai politik saja, melainkan juga terdapat penyelenggara dan pemilih (dalam hal ini masyarakat).

Selain itu paling penting juga untuk membuat kebijakan berdasarkan pendekatan kebijakan berbasis bukti atau evidence based policy. Tujuannya agar perumusan kebijakan terkait UU Pemilu dapat menghasilkan kebijakan yang berkualitas dan aplikatif terhadap sesuai dengan kebutuhan publik.

 

Arfianto Purbolaksono – Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar