Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan memasuki tahapan pendaftaran pasangan calon (paslon), yaitu pada 27 hingga 29 Agustus 2024. Sedangkan, untuk penetapan paslon kepala daerah akan dilaksanakan pada 22 September 2024. Melihat kecenderungan saat ini, calon yang digadang-gadang oleh partai politik (parpol) didominasi oleh nama-nama lama yang merupakan petahana maupun pejabat (Pj) kepala daerah.
Mencuatnya nama-nama lama dalam kontestasi pilkada tahun ini, disebabkan oleh terjebaknya partai politik dengan popularitas petahana maupun Pj kepala daerah sehingga hal ini sulit memunculkan calon alternatif. Selain itu, partai politik tidak memberikan ruang yang lebih luas untuk hadirnya calon-calon yang memiliki kapabilitas untuk ikut berkontestasi pada Pilkada 2024. Persoalan lainnya adalah, jika partai-partai tersebut menggabungkan diri dalam koalisi besar hanya akan mencalonkan para petahana maupun Pj Kepala Daerah, maka dikhawatirkan hanya akan memunculkan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong. Bukan tidak mungkin fenomena terjadinya kotak kosong diperkirakan meningkat saat Pilkada Serentak pada 27 November mendatang.
Pakar hukum pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini, memaparkan bahwa jumlah pasangan calon kepala daerah tunggal terus meningkat sejak Pilkada 2015. Hal ini disebabkan karena partai politik ingin memastikan kemenangan dalam Pilkada. Bahkan, sejak Pilkada 2015, hanya ada satu pasangan calon tunggal yang kalah, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi, yakni pada Pilkada Kota Makassar 2018. Sedangkan pasangan calon tunggal lainnya meraih kemenangan melawan kotak kosong. Misalnya pada Pilkada 2015, terdapat 3 pasangan calon tunggal yang berhasil menang. Selanjutnya, pada Pilkada 2018, dari 16 pasangan calon tunggal, terdapat 15 pasangan calon tunggal yang meraih kemenangan. Kemudian, pada Pilkada 2020, dari 25 pasangan calon tunggal yang berkontestasi melawan kotak kosong, semuanya meraih kemenangan (kompas.com, 7/8/2024).
Titi mengatakan, selain orientasi partai politik yang ingin sedini mungkin mengunci kemenangan, ada banyak hambatan sistemik yang mencegah pilkada diwarnai banyak pasangan calon. Salah satu contohnya yaitu terkait dengan syarat dukungan minimal yang harus diajukan bakal pasangan calon kepala daerah nonpartai meningkat dari 3-6,5 persen ke 6,5-10 persen. Dukungan berupa syarat KTP warga pendukung itu masih harus diverifikasi secara sensus oleh KPU. Jika terbukti benar dan memenuhi syarat, baru lah pasangan calon tersebut memperoleh tiket resmi untuk mendaftarkan diri ke KPU (kompas.com, 7/8/2024).
Sedangkan, pada calon yang diusung partai politik, persyaratan juga makin rumit. Ada ambang batas pencalonan (threshold) yang juga naik, dari 15 persen kursi atau 15 persen suara sah pemilihan legislatif (Pileg) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi 20 persen kursi atau 25 persen suara sah hasil pileg DPRD. Kerumitan persyaratan ini belum menghitung faktor hegemoni petahana yang dapat begitu menentukan konstelasi politik jelang pilkada (kompas.com, 7/8/2024).
Akibatnya dari permasalahan di atas, masyarakat tidak memiliki alternatif calon pemimpin untuk dipilih. Hal ini tentunya akan menjadi kerugian bagi masyarakat untuk mencari pemimpin yang terbaik. Tidak adanya calon-calon alternatif yang didukung oleh partai politik menjadi persoalan serius dari kelembagaan internal parpol, terutama yang terkait dengan masalah rekrutmen politik.
Salah satu faktor di balik produk rekrutmen politik yang buruk ini adalah belum terbangunnya sistem rekrutmen politik yang baku, terbuka, demokratis, dan akuntabel di kalangan umummnya parpol di Indonesia. Sebagian parpol mendasarkan sumber rekrutmen politik dari lingkungan keluarga dan kerabat politik para elit parpol itu sendiri, sehingga cenderung berlangsung tertutup, ekslusif, dan nepotis. Meskipun ada prosedur formal yang dimiliki parpol dalam proses rekrutmen, namun dalam realitasnya prosedur tersebut tidak sepenuhnya diimplementasikan oleh pimpinan parpol (Haris, 2016).
Permasalahan lainnya dari rekrutmen di partai politik adalah proses seleksi yang hanya determinan pada faktor popularitas bukan berdasarkan pada sistem merit. Partai akan mendorong calon yang memiliki popularitas di mata publik dibandingkan dengan calon yang memiliki kapasitas. Permasalahan berikutnya adalah faktor kemampuan finansial. Faktor kemampuan finansial juga menjadi pertimbangan utama dari rekrutmen politik. Hal ini disebabkan tingginya biaya politik dalam kontestasi politik di Indonesia.
Di sisi lain, pendanaan partai juga masih diliputi persoalan. Saat ini, partai politik hanya mengandalkan pendanaan yang bersumber dari bantuan keuangan negara (Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan Belanja Daerah/APBD) dan sumbangan dari anggota partai yang berada di parlemen dan menjadi pejabat publik. Hal ini pun belum diikuti dengan transparansi pengelolaan keuangan partai politik.
Oleh karena itu, partai politik harus membenahi sistem rekrutmen politiknya. Rekrutmen politik harus mengedepankan sistem meritokrasi, kesetaraan gender, inklusi, dan keterwakilan, daripada hanya memenuhi kepentingan kekerabatan atau kelompok atau golongan, serta pertimbangan favoritisme yang selama ini sering diterapkan untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis semata. Melalui proses yang dilakukan secara terbuka, transparan, dan akuntabel, diharapkan rekrutmen politik dapat benar-benar berjalan secara demokratis dengan dukungan kader yang berintegritas, berkomitmen, dan memiliki kompetensi. Diharapkan proses yang sedemikian juga dapat memberikan alternatif pilihan calon kepala daerah yang lebih beragam dan kompeten bagi para pemilih, sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat tentang demokrasi dan partisipasi politik.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute