Supriyani, seorang guru di Konawe, baru-baru ini telah divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Andoolo Sulawesi Tenggara. Supriyani digugat terkait kasus tuduhan penganiayaan siswa yang merupakan anak seorang polisi. Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim, Stevie Rosano, menekankan bahwa tidak ada bukti sah yang menunjukkan bahwa Supriyani bersalah atas dakwaan yang diberikan. Keputusan ini disambut dengan haru oleh Supriyani dan keluarganya, yang selama ini mempertahankan keyakinan bahwa ia tidak bersalah (narasi.tv, 26/11/2024).
Profesi guru sering kali dilekatkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini menimbang bahwa mereka memikul tugas yang berat, terutama dalam mendidik dan mencerdaskan bangsa, membentuk karakter, dan menanamkan nilai-nilai moral pada generasi penerus. Namun, kasus yang menimpa Supriyani, seorang guru yang dihukum setelah menegur muridnya dengan niat mendidik, telat menyorot kerentanan profesi ini terhadap konflik sosial dan hukum. Kasus Supriyani dalam konflik yang terjadi antara murid guru hanyalah fenomena gunung es yang muncul di permukaan. Lalu jika demikian, muncul pertanyaan mendesak: apakah kita saat ini benar—benar membutuhkan Undang-Undang Perlindungan Guru?
Jika meninjau dari undang-undang yang ada saat ini, profesi guru umumnya telah mendapatkan perlindungan hukum melalui beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur profesi ini, antara lain Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 (UU No 14/2005) tentang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 (PP No 74/2008) tentang Guru.
Dalam UU No 14/2005 disebutkan beberapa pasal penting tentang hak perlindungan profesi guru. Pasal tersebut antara lain Pasal 39 yang berbunyi “Guru memiliki hak atas perlindungan hukum, profesi, dan keselamatan kerja”. Selain itu, ada Pasal 40 yang berbunyi “Guru dilindungi dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil”, dan Pasal 41 yang menyebutkan bahwa guru berhak mendapatkan jaminan keamanan saat menjalankan tugasnya. Demikian pula pada PP No 74/2008 yang menyebutkan pasal penting terkait perlindungan guru untuk melaksanakan tugasnya secara profesional dan sesuai kode etik disebutkan dalam Pasal 39 dan 40.
Dengan instrumen hukum yang telah disebutkan seperti di atas, rasanya sedikit berlebihan, dan akan tumpang tindih, jika ada desakan untuk segera membuat RUU Perlindungan Guru. Dalam menghadapi konflik yang terjadi, profesi guru maupun pendidik seperti dosen dapat menggunakan peraturan perundang-undangan terkait dalam upaya melakukan pembelaan diri. Namun, pertanyaannya, jika hal ini dianggap tidak efektif, lalu permasalahan yang terjadi antara murid dan guru harus dirujuk dan ditindaklanjuti dengan bersumber dari mana?
Banyak masyarakat umum yang berasumsi meningkatnya kriminalisasi profesi guru dalam konflik terjadi karena anak dinilai memiliki hak imunitas melalui UU Perlindungan Anak. UU ini dinilai memiliki legitimasi agar anak sebagai pelajar terhindar dari segala berbagai bentuk jenis tindak kekerasan yang menimpanya. Padahal, dalam konteks pendidikan, rambu-rambu mengenai bentuk jenis penghukuman sebagai upaya pendisiplinan perilaku pelajar telah tertera jelas. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh guru selama dalam menjalankan perannya secara profesional dan selama sesuai dengan aturan yang berlaku tidak dapat dikriminalisasi.
UU Perlindungan Anak pada hakikatnya merupakan sumber kekuatan hukum yang diberikan dengan tujuan untuk melindungi hak-hak mereka yang terampas oleh negara. Selain itu, UU ini juga melindungi anak sebagai kelompok rentan dari tindak kekerasan dan kejahatan yang mengakibatkan anak mengalami dampak secara psikososial. Tidak sedikit dalam penyelesaian perkara (misalnya melalui diversi) yang menjadi pelaku tindak kekerasan juga dilakukan oleh pelaku anak. Pada konteks kriminalisasi yang dialami oleh guru, sering kali guru memiliki cara tersendiri dalam mendidik anak didiknya. Cara itu bisa dilakukan secara verbal maupun non verbal (berupa penghukuman fisik).
Orang tua wali dari anak didik (pelajar) sering kali melihat tindakan pendisiplinan oleh guru sebagai bentuk kekerasan, terutama jika melibatkan hukuman fisik. Hal ini tentu memunculkan dilema, di mana guru merasa perlu menjalankan tugas mendidik dengan tegas, tetapi di sisi lain dipahami secara berbeda oleh siswa dan orang tua atau wali murid, sehingga guru bisa brrhadapan dengan ancaman kriminalisasi.
Dalam situasi ini, terdapat kebutuhan untuk menciptakan keseimbangan antara perlindungan hak-hak anak dan memberikan ruang bagi guru untuk menjalankan fungsi pendidikannya secara efektif dan tanpa rasa takut. Persatuan profesi guru perlu membentuk pedoman yang jelas dan pendekatan yang lebih humanis, mendidik, serta konstruktif dalam sistem pendidikan, sehingga tidak hanya hak anak yang terlindungi, tetapi juga hak dan martabat guru sebagai pendidik tetap dihormati. Dengan adanya pedoman tersebut, maka seyogyanya RUU Perlindungan Guru tidak perlu untuk dibuat.
Dewi Rahmawati Nur Aulia
Peneliti Bidang Sosial – The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
dewi@theindonesianinstitute.com