Perekonomian dalam Situasi Tekanan Global

Sudah lebih dari satu semester tahun 2016 berlalu. Perjalanan perekonomian di tengah gencatan global seperti yang terjadi saat ini tentu menjadi perhatian tersendiri bagi sebagian besar kalangan. Terlebih banyak yang mengharapkan perekonomian di tahun ini mampu membayar hutang kinerja di tahun sebelumnya yang performanya masih jauh dari kata memuaskan.

Catatan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa di triwulan pertama tahun 2016 pertumbuhan ekonomi mampu melesat sebesar 4,9%, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya yang nilainya hanya sebesar 4,71%. Rumusan APBN-P menyebutkan bahwa target pertumbuhan ekonomi di tahun ini adalah sebesar 5,2% atau ini berarti perekonomian memerlukan stimulus tambahan yang kerjanya harus lebih signifikan.

Kondisi perekonomian yang ada pada saat ini memang bukan perkara domestik semata. Lebih dari itu, peranan faktor global menjadi isu yang harus diwaspadai dengan cerdik. Salah langkah atau kebijakan yang ditempuh tentu akan sangat berdampak pada kondisi perekonomian dalam negeri. Kondisi global pada saat ini memang belum menguntungkan. Dana Moneter Internasional (IMF) menaksir bahwa hingga akhir tahun perekonomian global hanya mampu tumbuh moderat di angka 3,1%.

Pertumbuhan ini sedikit banyak disebabkan oleh membaiknya perekonomian Amerika Serikat, dan pertumbuhan yang cukup stabil di emerging markets, termasuk India, Amerika Latin, dan ASEAN (Core Indonesia, 2016). Namun, secara umum pertumbuhan global masih didesak oleh aktivitas anomali yang terjadi di belahan bumi lainnya, seperti keluarnya Inggris dari zona eropa (BREXIT), kebijakan rebalancing Tiongkok yang tak kunjung usai, hingga melorotnya volume ekspor di banyak negara penghasil komoditas primer akibat lesunya aktivitas industri.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, aktivitas global ini banyak berdampak pada perekonomian dalam negeri. Perdagangan Indonesia dengan mitra dagang yang sejatinya kontributif terhadap produk domestik bruto terlihat tidak mampu mendongkrak laju pertumbuhan secara maksimal. Melalui pendekatan pengeluaran terlihat pertumbuhan yang ada hanya mampu digerakan oleh konsumsi rumah tangga, belanja pemerintah, serta investasi.

Jika dilihat lebih mendalam, dampak melemahnya permintaan global terhadap komoditas ekspor andalan memberikan dampak yang besar terhadap kinerja perdagangan Indonesia. Sebutlah gas alam, minyak mentah, batubara, produk olahan karet, produk logam dasar, minyak sawit, dan produk kayu olahan yang notabene ujung tombak ekspor bumi pertiwi keseluruhannya mengalami kontraksi yang nilainya cukup bervariasi (Bank Indonesia, 2016).

Dengan melemahnya aktivitas perdagangan internasional dan pertumbuhan global, maka dalam jangka pendek pertumbuhan ekonomi Indonesia akan banyak sekali bergantung kepada pengeluaran pemerintah yang saat ini banyak terfokus kepada pembangunan infrastruktur. Kamar Dagang Indonesia (KADIN) menambahkan bahwa dalam jangka menengah, pertumbuhan yang ada akan bergantung pada reformasi struktural yang dikerjakan oleh pemerintah, seperti permasalahan logistik, iklim investasi, dan sektor perdagangan.

Agar pembiayaan pembangunan tetap tersedia, per 1 Juli 2016 Presiden telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Bagi penulis UU ini mampu menjadi katalis dan sangat tepat momentumnya untuk meningkatkan pendapatan pemerintah melalui skema pajak. Terlebih jika mempertimbangkan rasio pajak yang terus melemah sejak tahun 2012, dan pendapatan dari pajak yang hanya mencapai 11% dari PDB di tahun 2015 (Core Indonesia, 2016).

Pemerintah juga nampaknya sangat serius dengan kebijakan pengampunan pajak ini. Tidak hanya Presiden yang turun langsung ke lapangan guna meyakinkan para pemilik dana untuk menarik kembali uangnya dan ditaruh di Indonesia, tetapi juga kembalinya Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro. Kehadiran menteri yang baru tentu bukan tanpa alasan. Publik secara luas yakin bahwa kinerja yang sudah beliau lakukan bukanlah hal yang biasa. Pasar pun ikut merespon dengan menguatnya IHSG sebesar 1% dan menamakannya sebagai SMI Effect.

Selain hal itu, untuk meningkatkan kembali gairah perekonomian, penulis melihat bahwa selusin paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah belum berjalan secara efektif. Kajian yang dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), lembaga kajian ekonomi dan keuangan, mencatat setidaknya ada tiga kekurangan dari paket kebijakan ini.

Pertama,  paket yang dikeluarkan terlalu banyak dan memunculkan keraguan terhadap implementasinya. Kedua, paket kebijakan tidak fokus pada sektor tertentu, bahkan satu paket kebijakan saja bisa menyasar dua atau tiga sektor yang berbeda. Ketiga, fokus dari paket ini adalah deregulasi. Meskipun penulis nilai sangat baik pada akhirnya, namun investasi yang diperlukan juga akan sangat lama.

Oleh karenanya, penting bagi para pemangku kepentingan untuk melihat kembali selusin paket yang sudah dikeluarkan. Perihal diseminasi dan harmonisasi regulasi nampak menjadi hal yang sangat krusial untuk mendapatkan perhatian lebih agar kebijakan yang digulirkan tidak hanya dipahami oleh segelintir orang, namun menyentuh kepada seluruh pihak berkepentingan yang tentunya juga sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com

Komentar