Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute (TII) Hemi Lavour Febrinandez menilai pemblokiran beberapa situs oleh Komindo sebagai kegagalan Kominfo dalam melakukan tata kelola hukum digital di Indonesia. Sebab, langkah itu bisa dilakukan untuk membungkam suara kritik masyarakat.
“Ini kegagalan Kominfo dalam melakukan tata kelola hukum digital di Indonesia,” kata Hemi dalam keterangannya kepada wartawan, Senin (1/8/2022).
Hemi melihat kasus itu menunjukkan negara seakan ingin memperlihatkan taringnya kepada big tech companies. Yaitu Indonesia tidak akan takut menjatuhkan sanksi ketika mereka tidak mengikuti aturan main yang ada di Indonesia.
“Namun, hal yang tidak dipertimbangkan oleh Kominfo adalah dampak sosial yang akan ditimbulkan oleh penerapan regulasi yang dilakukan secara serampangan,” beber Hemi.
Menurut Hemi, The Indonesia Institute dan beberapa kelompok masyarakat sipil lainnya telah mengingatkan Kominfo bahwa terdapat permasalahan mendasar pada Permenkominfo No 5 Tahun 2020 tentang PSE lingkup privat.
“Hal itu sebelum protes publik terhadap pemblokiran PSE ini,” ucap Hemi.
Hemi menjelaskan bahwa terdapat beberapa aturan yang dapat mengancam kebebasan sipil di ruang digital. Contohnya adalah ketentuan yang terdapat pada Pasal 9 ayat (4) Permenkominfo No 5 Tahun 2020 yang melarang PSE lingkup privat untuk menayangkan konten dengan muatan meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum.
“Padahal, frasa meresahkan masyarakat dapat ditafsirkan secara bebas dan rentan digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap individu maupun kelompok yang vokal mengkritik pemerintah. Selain itu, frasa yang sama tidak ada dalam UU ITE yang merupakan aturan induk lahirnya Permenkominfo ini, sehingga dapat diartikan keberadaan aturan ini merupakan hal yang mengada-ada,” tegas Hemi.
Pemblokiran terhadap beberapa PSE lingkup privat dan keberadaan Permekominfo No 5 Tahun 2020 tidak hanya merugikan penyedia layanan digital, namun pada akhirnya juga mengancam kebebasan berpendapat, berekspresi, dan data masyarakat di ruang digital.
“Saat ini, penting bagi pemerintah dan Kominfo untuk menurunkan ego serta mendengarkan dan menindaklanjuti masukan masyarakat agar hukum yang dihadirkan benar-benar memberikan perlindungan, bukan malah mengancam kebebasan berekspresi, kebebasan memanfaatkan internet, dan kepentingan publik” pungkas Hemi.
Sebelumnya, Menkominfo Johnny G Plate menyebut pihaknya memerhatikan pendapat masyarakat dan telah melakukan normalisasi terhadap sejumlah layanan. Johnny menyinggung 7 perusahaan yang belum melakukan pendaftaran sembari menekankan pihaknya telah mencoba berkomunikasi dengan perusahaan tersebut maupun kedutaan negara sahabat. Untuk PayPal dan Steam, Johnny menyebut pihaknya sudah menormalisasi dengan catatan.
“Dari sekian banyak PSE terdapat 7 PSE yang perlu dilakukan proses komunikasi. Dan komunikasinya sudah dilakukan, baik langsung dengan perusahaan-perusahaan tersebut maupun melalui kedutaan besar negara-negara sahabat kita yang menurut Kominfo, ya, kantor pusat PSE tersebut berada. Yang hingga saat ini, termasuk PayPal dan Steam, kami telah melakukan normalisasi kegiatan di dalam ruang digital dengan catatan ya, PSE tersebut tetap harus memenuhi kewajiban pendaftarannya,” kata Johnny Plate usai mewakili NasDem mendaftar Pemilu di Kantor KPU RI.
https://news.detik.com/berita/d-6210132/pemblokiran-paypal-steam-dinilai-tanda-kegagalan-tata-kelola-hukum-digital