Presiden Joko Widodo pada Rabu (9/9) telah mengumumkan tiga paket kebijakan ekonomi. Tiga paket kebijakan ini bertujuan untuk merespons kondisi ekonomi Indonesia yang sedang mengalami perlambatan.
Seperti yang kita ketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan selama kuartal II 2015, BPS mencatat perekonomian Indonesia hanya tumbuh 4,67 persen atau melambat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2015 yang mencapai 4,71 persen.
Ditambah lagi dengan dinamika perekonomian global seperti penguatan mata uang Dollar AS serta devaluasi mata uang yuan yang dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok mengakibatkan rupiah terdepresiasi.
Tiga paket kebijakan tersebut adalah pertama, mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, penegakan hukum dan peningkatan kepastian usaha. Kedua, mempercepat implementasi proyek strategis nasional dengan menghilangkan hambatan yang ada, menyederhanakan izin, mempercepat pengadaan barang serta memperkuat peran kepala daerah untuk mendukung program strategis.
Ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti. Dengan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan membuka peluang investasi di sektor ini sebesar-besarnya. Diharapkan dengan dikeluarkannya paket kebijakan ekonomi tersebut, pendapatan masyarakat akan bertambah sehingga daya beli menguat.
Menurut penulis, persoalan regulasi dan birokrasi menjadi permasalahan dasar yang menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini terkonfirmasi dalam laporan Doing Business 2015 yang dirilis oleh World Bank. Indonesia berada di peringkat 153 dalam hal pengurusan perizinan (Oktober, 2014).
Begitu juga dalam laporan The Global Competitivenes Report 2014-2015 yang dikeluarkan oleh World Economic Forum, dimana ketidakefisienan birokrasi Indonesia masih mendapatkan nilai 8.3. Walaupun peringkat ini lebih baik dari nilai tahun sebelumnya yaitu 15.4 dan 15 (September, 2014).
Lamanya proses perizinan, birokrasi yang rumit, serta masih maraknya pungutan liar dapat memperburuk iklim investasi di Indonesia. Sehingga pada akhirnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Kini menarik untuk patut kita simak bagaimana paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi ini dapat diimplementasikan oleh aparatur birokrasi negeri ini. Karena penulis mengkhawatirkan paket kebijakan ini hanya akan menjadi sekedar wacana, jika tidak didukung oleh kinerja yang prima dari aparatur birokrasi kita.
Pada Janji Sembilan agenda pokok Pemerintahan Kabinet Kerja dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi salah satu poinnya adalah membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Pelaksanaan paket kebijakan ekonomi ini seharusnya menjadi momentum untuk Pemerintah dengan serius membenahi birokrasi guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi kita.
Menurut penulis bahwa gerakan revolusi mental yang digadang-gadang oleh Presiden Jokowi harus menjadi dasar untuk membenahi birokrasi kita. Merubah nilai, etika, pola pikir serta budaya birokrasi saat ini. Merubah birokrasi priyayi ke birokrasi melayani, dari birokrasi yang berorientasi kepada keluaran semata (outputs) ke birokrasi yang berorientasi kepada hasil (outcomes) dan manfaat (benefits).
Selanjutnya diperlukan restrukturisasi kelembagan birokrasi. Struktur birokrasi yang selama ini kurang lincah harus ditata agar tepat ukuran, tepat proses dan tepat fungsi. Struktur birokrasi sebagai penggerak penyelenggaraan pemerintahan harus menunjukkan performa yang tangguh, lincah, efektif dan efisien.
Kemudian yang terakhir adalah integritas dan profesionalitas aparatur birokrasi. Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima salah satunya didasarkan pada kualitas aparatur birokrasi yang memiliki integritas dan profesionalitas. Guna mewujudkan hal tersebut maka diperlukan peningkatan kompetensi sumber daya aparatur birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik di The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research. arfianto@theindonesianinstitute.com