Mungkinkah Indonesia Bebas dari Pekerja Anak ?

Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute

Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute

Kegiatan Pesantren Ramadhan adalah kegiatan yang jamak kita jumpai pada bulan Ramadhan ini. Umumnya Pesantren Ramadhan diselenggarakan oleh sekolah dan mesjid, dengan peserta anak-anak sekolah, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau pun yang sudah duduk di bangku universitas.

Selain institusi formal tersebut, beberapa rumah singgah tempat para pekerja anak di sektor informal juga mengadakan Pesantren Ramadhan ini. Namun, rasio pekerja anak sektor informal yang berpartisipasi pada kegiatan ini dengan yang tetap berada di jalanan dan bekerja tentulah sangat kecil. Pekerja anak di sektor informal khususnya di jalanan biasanya bekerja sebagai tukang semir sepatu, pedagang asongan, pengamen dan lain sebagainya. Mengingat kondisi tempat kerja yang sangat rawan merusak kesehatan dan juga keamanan mereka dari pelbagai tindak kejahatan pun kekerasan (fisik, psikis dan seksual).

Jumlah pekerja anak dengan pekerjaan yang buruk dan membahayakan ini tidak sedikit jumlahnya. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat bahwa saat ini ada sekitar 400.000 orang pekerja anak dengan pekerjaan yang buruk dan membahayakan, dan pekerja anak sektor informal di jalanan masuk ke dalam kelompok ini.

Dalam cakupan yang lebih luas, masih menurut ILO, tercatat ada sekitar 1,7 juta pekerja anak di Indonesia. Ini adalah angka yang sangat fantastis, bagi negara yang sudah memiliki pelbagai instrumen legal untuk penghapusan pekerja anak secara khusus, maupun kebijakan terkait perlindungan anak secara umum.

Misalnya Indonesia sudah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuh Untuk Anak dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000. Bahkan pada tahun 2002 terbit Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Indonesia juga sudah memiliki Undang-undang tentang Perlindungan Anak sejak 2002 (UU 23/2002) dan direvisi pada tahun 2014 (UU 35/2014).

Terlihat kemudian bahwa betapa implementasi pelbagai kebijakan terkait pekerja anak belum optimal. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, baik di ranah kebijakan maupun di ranah lain. Ketetapan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri yang mencanangkan bulan Juni 2015 sebagai Bulan Kampanye Menentang Pekerja Anak sebagai bagian dari implementasi peta jalan menuju Indonesia bebas pekerja anak pada 2022, patut kita apresiasi.

Namun ada beberapa catatan. Pertama, hendaknya Kemenaker mengevaluasi kegagalan implementasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Salah satu faktor yang mengemuka adalah tidak berjalannya koordinasi antar pelbagai pihak terkait. Masalah koordinasi selalu menjadi momok dalam setiap implementasi kebijakan, apalagi untuk isu pekerja anak ini melibatkan banyak Kementerian/ Lembaga mulai dari Kemenaker, Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial dan lain sebagainya.

Kedua, benar sudah banyak program yang diluncurkan untuk ‘menarik’ anak keluar dari pekerjaan, tapi kenapa angka pekerja anak masih fantastis? Program-program tersebut misalnya Program Keluarga Harapan (PKH) diklaim sudah mampu menyelamatkan 33.110 pekerja anak di seluruh Indonesia per tahun 2013 (RRI, 9/6/2015). Program ini memberi insentif yang memungkinkan keluarga miskin tetap bisa melanjutkan pendidikan anak-anak mereka. Namun, dalam konteks pekerja anak, program ini tidak langsung menjadikan pekerja anak sebagai target langsung untuk ditarik dan mendapatkan pendidikan.

Di sisi lain, terdapat program yang menjadikan pekerja anak sebagai target langsung yaitu Program Pengurangan Pekerja Anak guna mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) yang diinisiasi Kemenaker sejak 2008. Namun program ini masih menemui pelbagai tantangan (Hakim,2015), seperti sedikitnya jumlah sekolah negeri yang menampung peserta PPA PKH, tidak adanya bantuan dana bagi mantan pekerja anak untuk mendukung mereka kembali ke sekolah (seperti uang transportasi dan perlengkapan sekolah), respon pemerintah daerah terhadap tindak lanjut pendidikan peserta PPA PKH masih sangat terbatas dan lain sebagainya.

Dari beberapa ilustrasi program di atas, terlihat bahwa program yang tepat sasaran memang penting. Namun yang perlu digaris bawahi, aspek koordinasi antara pelbagai pihak, merupakan langkah yang paling penting untuk mengoptimalkan capaian program ini.
Hal ini dikarenakan persoalan pekerja anak bukan semata pekerjaan Kemenaker, tapi juga Kementerian lainnya. Bukan hanya pekerjaan wajib pemerintah pusat tapi juga masuk ke ranah tugas pemerintah daerah. Bukan pula, hanya urusan pemerintah, tapi juga sektor swasta yang menjadikan anak sebagai pekerja mereka serta masyarakat lain pada umumnya.

Akhirnya, hanya dengan koordinasi yang tepat dan berkelanjutan pelbagai pihak terkait pekerja anak inilah Indonesia bisa menghapus pekerja anak dari Indonesia.

Lola Amelia, Peneliti bidang Sosial di The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research. lola@theindonesianinstitute.com

Komentar