Isu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) adalah isu yang masih mengganjal terutama menjelang Pemilu serentak 2019. Sejatinya, isu SARA sudah tidak lagi menjadi bahan perdebatan di Indonesia sebab para pendiri bangsa Indonesia sejak dahulu sudah merumuskan dan menjadi satu kesepakatan bersama bahwa keberagaman adalah kekayaan bangsa Indonesia bahkan menjadi elemen utama terbentuknya negara Indonesia.
Para pendiri bangsa dahulu dan masyarakat Indonesia saat ini sudah memahami betul bahwa perbedaan yang sangat besar berpotensi terjadi gesekan-gesekan di tengah-tengah masyarakat yang mengancam kebhinnekaan Indonesia apapun momennya.
Tapi, yang dirasakan masyarakat terutama era kekinian pasca reformasi, gesekan yang terjadi karena isu SARA selalu terjadi pada saat momen pemilu atau pilpres. Ini menjadi pertanyaan besar publik, apakah sistem pemilu dan pilpres itu sendiri yang makin memperuncing gesekan-gesekan akibat isu SARA.
Yossa melihat isu SARA berkaitan erat dengan pemahaman yang baik. Pemahaman yang baik berkaitan erat dengan edukasi dan pendidikan yang baik juga. Pemahaman tentang keberagaman mesti diimplementasikan dalam kurikulum pendidikan.Wacana tersebut menjadi pembahasan seru dalam ‘Diskusi Empat Pilar MPR RI’, diskusi rutin yang diselenggarakan atas kerjasama Biro Humas Setjen MPR RI dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen yang dihadiri para awak media massa cetak, elektronik dan online, di Media Centre Parlemen, Gedung Nusantara III, Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Jumat (1/3/2019), dengan menampilkan dua narasumber, Wakil Ketua Fraksi PPP MPR RI Syaifullah Tamliha dan Manager Riset dan Program The Indonesia Institute (TII) Yossa Nainggolan dengan moderator Marhadi.
Dalam pemaparannya, Syaifullah Tamliha mengungkapkan hampir semua pemilihan Presiden di dunia temasuk negara besar Amerika Serikat (AS) isu SARA ada. Terutama pertarungan antara Donald Trumph dengan Hillary Clinton. Dari pengamatan Tamliha, banyak elemen-elemen di AS seperti Dubes dan para diplomat memprediksi Hillary Clintonlah yang akan menduduki kursi Presiden AS. Sangat sedikit yang memprediksi Trumph menang.
“Tapi ternyata Donald Trumphlah yang menang. Tenyata saya mengamati bahwa kemenangan Trumph karena isu agama. Trumph didukung para pendeta yang tidak menghendaki Hillary menjadi Presiden. Ada beberapa masalah yang menjadi isu agama dari Hillary yang tidak didukung gereja-gereja seperti janji Hillary jika terpilih menjadi Presiden akan mengesahkan perkawinan sesama jenis,” ujarnya.
Isu SARA ini, lanjut Tamliha, juga terjadi di Yaman antara Houthi dan Presiden Yaman Abed Rabbo Mansour Hadi. Presiden Hadi diklaim sebagai beraliran Sunni dan Houthi beraliran Syiah. Konflik antara Sunni dan Syiah selalu ada di Yaman atau tidak pernah akur sampai ke ranah politik.
“Di Indonesia, potensi SARA bukan lagi antar agama tetapi antar aliran dalam satu agama dan makin kencang muncul bergentayangan di media-media sosial hampir setiap hari. Jadi politik aliran dan aliran agama yang paling berpengaruh pada Pilpres 2019, coba telusuri media-media sosial banyak itu,” ungkapnya.
Dikatakan Tamliha, isu SARA serta aliran di Pilpres 2019 akan sangat berbahaya berpotensi konflik. Namun, Tamliha mengapresiasi para elit-elit organisasi-organisasi agama yang besar sama-sama memiliki pandangan yang demokratis terhadap Pilpres.
Malah saking demokratisnya ada keluarga kalangan elit organisasi agama yang berbeda-beda pilihannya pilpresnya. Dan ada organisasi agama besar yang memilki basis massa yang berbeda pilihan capresnya.
Dalam kesempatan yang sama Yossa Nainggolan mengungkapkan bahwa munculnya isu SARA memang ada sejak dulu dan bukan hanya dalam Pilpres saja. Karena memang isu keragaman dan pluralisme di Indonesia tidak akan pernah selesai.
“Dalam konteks kekinian, mengapa isu SARA tetap ada dan makin meruncing, karena ada sisi pemanfaatan. Isu SARA dilihat akan menggenjot popularitas dan mendegradasi popularitas lawan. Media sosial ternyata menjadi lahan subur memproduksi isu SARA, jadi memang kita semua mesti bijak dalam hal itu (Pemanfaatan media sosial),” katanya.
“Menurut saya, memang dalam aspek pendidikan dan edukasi soal hal tersebut masih agak kurang, sehingga masih banyak pihak yang kemudian belum bisa memahami perbedaan dan keberagaman yang ada. Inilah peran negara harus hadir terutama dalam bidang pendidikan itu agar pemahaman yang luas akan keberagaman dan kebhinekaan tercipta dengan baik,” ujarnya.
Sumber: Detiknews.