Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memasukkan transformasi ekonomi hijau dan mitigasi risiko perubahan iklim dalam salah satu dari delapan arah strategis kebijakannya tahun 2022. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso pada Rapat Kerja Strategis 2022 (15 Oktober 2021), di Manado, Sulawesi Utara (OJK, 2021). Rencana strategis tersebut merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan iklim perbankan yang lebih berkelanjutan (sustainable finance) (OJK,2022).
Transformasi ekonomi hijau dan mitigasi risiko perubahan iklim dinilai sebagai langkah untuk melakukan dekarbonisasi dalam rangka mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam (SDA) yang berkelanjutan. Terkait dengan hal tersebut, sudah senada dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) pada poin 13 tentang climate action. Sektor pembiayaan berperan penting dalam penyaluran dana kepada unit usaha melalui kredit mikro, asuransi, dan investasi dalam mewujudkan perbankan yang hijau dengan memegang prinsip berkelanjutan.
Upaya yang diwujudkan OJK adalah dengan membuat Taksonomi Hijau Indonesia. Langkah tersebut merupakan ratifikasi dari Paris Agreement, melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016, yang mewajibkan seluruh negara termasuk Indonesia untuk berkomitmen dalam penurunan emisi gas rumah kaca (GRK). Dilanjutkan dengan upaya pelaksanaan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2019) dan Tahap II (2021-2025). Penyusunan Taksonomi Hijau tersebut intinya adalah membuat penilaian pada kegiatan usaha dengan peringkat warna hijau jika kegiatan usaha tersebut sudah menerapkan prinsip keberlanjutan.
Namun, pada tahun 2022 ini, upaya yang dilakukan untuk menerapkan pembiayaan hijau oleh perbankan belum maksimal karena belum menyetop pembiayaan untuk industri batu bara (liputan6.com, 14/06/2022). Sebagaimana diketahui, batu bara merupakan industri penghasil emisi yang berkontribusi pada perubahan iklim, sehingga bank perlu membersihkan portofolionya dari industri tersebut.
Peneliti dari Climate Policy Initiative, Luthfyana Larasati, menyebutkan bahwa pendanaan berkelanjutan oleh perbankan pada 11 kategori dalam Taksonomi Hijau, hanya 27 persen yang memenuhi prinsip keberlanjutan. Sementara, mayoritas pendanaan hanya untuk kegiatan sosial Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Masih banyak perbankan yang hanya menklaim bahwa sudah memberikan pendanaan bagi usaha yang berkelanjutan.
Pentingnya keuangan berkelanjutan untuk mitigasi perubahan iklim dapat dikaitkan dengan ketergantungan Indonesia pada SDA, karena perannya sebagai sumber penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Data Kementerian Keuangan menyebutkan hingga bulan April 2022, PNBP yang berasal dari SDA mencapai Rp74,44 triliun atau sebesar 61,04 persen dari target APBN 2022 yang sebesar Rp121,95 triliun (Kemenkeu, 2022).
Capaian PNBP pada bulan April 2022 merupakan capaian yang tertinggi dibandingkan tahun sebelumnya pada periode yang sama bahkan dalam enam tahun terakhir. Tahun 2021, PNBP SDA hanya mencapai Rp33,5 triliun, yang artinya, ada peningkatan sebesar 122,42 persen secara year on year. Kinerja drastis penerimaan negara tersebut utamanya dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas terutama harga minyak mentah global maupun dalam negeri karena koflik Rusia dan Ukraina (APBN Kita, 2022).
Melihat pencapaian penerimaan negara yang besar, sudah seharusnya Pemerintah menerapkan dan menjalankan prinsip keberlanjutan termasuk dalam sektor pembiayaan perbankan. OJK perlu bertindak tegas untuk melakukan penilaian Taksonomi Hijau pada bank umum maupun swasta untuk lebih memperhatikan unit usaha yang menerapkan sustainability sebelum memberikan bantuan kredit.
Kementerian Perindustrian bersama dengan Kementerian Koperasi dan UMKM perlu memberikan pengarahan pada pelaku usaha untuk menerapkan ekonomi sirkular dalam penggunaan faktor produksinya mulai dari bahan baku hingga pengelolaan limbahnya. Ekonomi sirkular merupakan salah satu langkah untuk menghambat perubahan iklim.
Kemudian, adanya penerimaan negara yang besar dari segi SDA, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup perlu memperhatikan persediaan sumber daya migas maupun non-migas agar tetap dapat digunakan dalam jangka panjang. Dalam hal ini, penerimaan negara yang masuk dalam APBN juga perlu dikelola oleh Kementerian Keuangan, terutama untuk pemulihan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat, dengan memanfaatkan SDA secara bijak agar dapat digunakan secara berkelanjutan.
Nuri Resti Chayyani
Peneliti Bidang Ekonomi, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nurirestic@theindonesianinstitute.com