Menyudahi Cengkraman Perentanan Kelompok Minoritas

Dunia sedang dikejutkan dengan kebijakan Pemerintah Brunei Darussalam terkait hukuman mati kepada kelompok LGBT. Pertentangan sengit terjadi─sebagian menolak, sebagian mendukung. Sultan Brunei jelas memertahankan argumen bahwa penerapan seperangkat aturan pidana yang mengadopsi syariat Islam tersebut memang untuk melindungi dan mendidik warga. Di sisi lain, berbagai pihak melontarkan kecaman dengan dasar pencideraan HAM.

Sebelumnya, beberapa media di Indonesia pun menggencarkan pemberitaan pemberangusan pers mahasiswa Suara USU. Berawal dari penerbitan cerpen yang dituding “mempromosikan LGBT”, lembaga tersebut harus menghadapi pembekuan legalitas serta penolakan dari berbagai lembaga kemahasiswaan internal mereka. Menanggapi situasi tersebut, narasi kebebasan berpikir dan berekspresi patut dipertanyakan ketika prinsip kemajemukan seolah dinihilkan dalam ruang akademis itu sendiri.

Maraknya penekanan terhadap kelompok minoritas terlampau berlebihan. Misalnya saja, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (2018) mencatat bahwa terdapat 973 orang yang menjadi korban dari stigma, diskriminasi dan kekerasan berbasis orientasi seksual, identitas atau ekspresi gender di luar norma heteronormatif. Angka tersebut pun hanya sedikit menggambarkan satu spektrum yang diidentifikasi sebagai kelompok minoritas di samping ras, gender, kelompok kepercayaan, disabilitas, dan kelompok lainnya.

Kita perlu mengakui bahwa keragaman masyarakat saat ini justru semakin “kering” akan kepekaan kultural. Masyarakat tengah dibenturkan dengan kecemasan untuk menjaga kemapanan moralitas yang diakui bersama sekaligus menodai selebrasi kemajemukan yang mengedepankan toleransi dan harmoni. Namun, permasalahan krusialnya terjadi ketika situasi tersebut malah menutup ruang aman atau bahkan merentankan kelompok minoritas secara berkepanjangan.

Kompetensi Kultural dan Ruang Aman bagi Kelompok Minoritas

Persoalan tidak berhenti pada stigma dan diskriminasi. Buntut panjang dari penyikapan tersebut yang sebenarnya malah mengkhawatirkan. Absennya pengakuan hak-hak dasar masyarakat, mulai dari administrasi kependudukan sampai pembatasan berbagai layanan publik, sangat berdampak pada keberfungsian sosial. Perentanan jangka panjang semacam ini seharusnya menjadi refleksi perlindungan terhadap kelompok minoritas. Bukan hanya pada sisi eksistensi negara, tetapi juga lapisan masyarakat sebagai bagian dari kompleksitas kemajemukan.

Kebutuhan akan kompetensi kultural kemudian menjadi penting. Dalam konteks kesejahteraan sosial, terutama pada isu kelompok multikultural, kompetensi kultural mencakup kesadaran nilai dan keterampilan dalam menangani isu marjinalisasi dan opresi kelompok masyarakat tertentu, serta dasar pemberian layanan sosial yang berakar pada prinsip keadilan sosial (Sue, 2006).

Skema dasar yang harus dipahami adalah mengenai Tripartite Development of Personal Identity yang mencakup level universal, kelompok, dan individu. Dalam konteks kelompok, seperti ras, gender, agama, atau juga orientasi seksual, mereka memiliki pengalaman dan karakteristik sosial-budaya masing-masing yang harus tetap dihormati secara menyeluruh sehingga ruang aman mereka dapat terjaga dengan baik.

Pada praktik kesejahteraan sosial, kompetensi ini harus dimiliki oleh individu maupun sistem. Secara teoritis, aspek-aspek kebijakan harus memungkinkan kompetensi kultural diterapkan dalam pengambilan keputusan, edukasi publik tentang nilai-nilai kemajemukan maupun standar etika dalam manajemen pelayanan publik secara luas (Barker, 2013). Implementasinya dilakukan di berbagai instansi, mulai dari pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga sipil masyarakat dan organisasi lainnya. Sedangkan, pada praktik yang lebih mikro, kompetensi kultural dapat diwujudkan dalam bentuk pertemuan dan pendidikan lintas budaya maupun pemberian pelayanan individual berbasis kasus.

Kompetensi kultural hadir dengan prinsip kemajemukan. Bergerak lebih jauh dari nilai-nilai toleransi, kompetensi kultural mendorong individu dan sistem untuk membangun relasi bermakna dengan kelompok masyarakat dengan latar belakang yang berbeda melalui kemampuan mendengar, empati dan pembelajaran resiprokal sebagai nilai dan keterampilan dasar.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, kerangka tersebut dapat menjadi cara untuk menyikapi dan mengambil tindakan terhadap peningkatan stigma, diskriminasi serta situasi perentanan kepada kelompok minoritas. Hal yang harus diupayakan bukan hanya memahami, tetapi juga mampu mengarusutamakan dan memberdayakan kemajemukan di berbagai aspek sebagai cita-cita bersama.

Nopitri Wahyuni, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, nopitri@theindonesianinstitute.com

Komentar