Debat Pilpres putaran kedua (17/2) mengusung payung topik yang saling berkaitan. Isu-isu energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan, serta infrastruktur menjadi perdebatan yang tentu menarik. Jika digali lebih dalam, isu-isu tersebut bisa mengarah pada persoalan substansial mengenai sumber daya di masyarakat dalam konteks pedesaan maupun perkotaan, yaitu tanah, lingkungan, tata ruang dan lain-lain. Tanah, dalam hal ini, seharusnya menjadi perhatian serius; bukan hanya menyoal legalisasi kerangka kepemilikan, tetapi juga melihat lebih dalam realitas tentang rumitnya problema klasik tetang ketimpangan sosial-ekonomi yang menjalar ke berbagai isu lainnya, seperti kemiskinan, konflik sosial dan lain-lain.
Pemerintah setidaknya telah menelurkan kebijakan yang menyoal isu pertanahan. Saat ini program sertifikasi tanah gratis dinilai cukup populer dan dianggap melekat dengan ikhtiar pemerintah dalam perwujudan reforma agraria, Program percepatan penerbitan sertifikat tanah dalam tajuk Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tersebut sebenarnya dapat menjadi observasi sekaligus refleksi. Sejatinya, program tersebut diharapkan dapat mengikis potret ketimpangan struktur penguasaan dan upaya menekan hambatan dalam kegiatan ekonomi produktif maupun peningkatan kesejahteraan keluarga.
Seiring dengan narasi tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dalam Katadata (23/3/18) menyebutkan bahwa realisasi sertifikat tanah pada tahun 2017 mencapai 4,2 juta sertifikat dari target 5 juta. Target tersebut mengalami peningkatan pada angka 7 juta sertifikat pada tahun 2018 dan 9 juta sertifikat pada tahun 2019.
Apakah aturan sertifikat tanah tersebut telah menjamin rasa keadilan seperti semangat yang digaungkan? Perlu diakui, skema redistribusi dan kepemilikan lahan tersebut hadir untuk memudahkan aspek legal bagi tanah-tanah bersertifikat maupun tanah-tanah yang belum bersertifikat, terutama afirmasi bagi petani dan masyarakat adat. Namun, evaluasi khusus juga perlu mengarah pada diskursus gender yang banyak tak disentuh dalam narasi penerapan maupun capaian program.
Refleksi sederhana dapat beranjak dari data Kementerian ATR/BPN tahun 2014 yang memaparkan kepemilikan tanah atas nama perempuan. Data tersebut menyebutkan bahwa baru 15,88 persen dari 44 juta lahan yang dimiliki atas nama perempuan. Sepanjang program PTSL berjalan dari tahun 2017-2019, data tersebut belum memiliki kebaruan selain secara agregat posisi di tahun 2016 mencapai 46 juta pendaftaran bidang tanah dan 51 juta di tahun 2017 (BBC, 27/2/18). Begitupun persentase proporsi kepemilikan antara laki-laki dan perempuan; dalam hal ini menjadi celah yang dapat terus digali dengan perspektif gender.
Perempuan dan Kepemilikan Tanah
Keterikatan perempuan dengan tanah tidak bisa dipungkiri. Pada konteks pedesaan, perempuan banyak bergelut dalam pengelolaan sumber daya alam dan ketahanan pangan melalui peran-peran ekonomi kemasyarakatan, seperti petani, nelayan, dan lain-lain. Bahkan, pada konteks sosio-kultur tertentu, perempuan sangat dekat pengelolaan tanah, terutama dalam masyarakat adat tertentu. Namun, potret tersebut seringkali dikaburkan atau bahkan tak diakui. Konstruksi yang melekat di masyarakat mengenai pembedaan peran laki-laki dan perempuan dalam dua teritori berbeda menjadikan proses pengambilan keputusan dan penguasaan tanah masih meminggirkan perempuan.
Persoalan keadilan gender di atas seringkali tak tersentuh. Jika berkaca pada pengelolaan sumber daya alam, masalah-masalah yang terjadi, seperti krisis agraria, konflik agraria, praktik-praktik konversi lahan maupun kerusakan ekologis, tidak bisa dilepaskan bagaimana manifestasi keadilan gender mulai dari struktur terkecil dalam rumah tangga. Pemberian hak atas kepemilikan dan pengelolaan tanah kepada perempuan tentu beriringan dengan peningkatan mutu hidup perempuan. Hal tersebut sesuai dengan prinsip kepemilikan lahan perempuan oleh Bina Agarwal dalam tulisannya Are we not peasants too? (2002), yaitu kesejahteraan, efisiensi, kesetaraan dan pemberdayaan.
Pada konteks pogram sertifikasi tanah, keadilan gender masih menjadi term yang perlu digali lebih lanjut. Inisiatif fasilitasi pengambilan keputusan dengan menegaskan bahwa perempuan sebagai subjek dari program telah diupayakan. Pemerintah, melalui Kementerian ATR/BPN, menyatakan bahwa program tersebut telah memperbolehkan pendaftaran atas nama suami atau istri. Penuturan tersebut dikuatkan dengan aspek administrasi yang berusaha mengakomodasi kesejajaran peran tersebut dalam hal persetujuan pemindahan hak atas bidang tanah (VOAIndonesia, 19/10/18). Namun, ruang yang memberikan optimisme tersebut perlu ditingkatkan dengan melengkapi celah-celah kosong dengan berbagai data mengenai kepemilikan tanah atas nama perempuan yang ikut serta dalam program.
Selain mengenai data, terdapat urgensi yang mengarah pada implementasi program berbasis keadilan gender. Pertama, kepastian proses dan prosedur harus terus ditingkatkan, terutama dengan memastikan kualitas program mulai dari kemanfaatan, kemudahan dalam program, kejelasan informasi, dan lain-lain bagi perempuan yang mengakses program tersebut. Jika diharuskan, proses tersebut tidak berhenti dalam bentuk pembagian sertifikat, tetapi lebih jauh, perlu dilengkapi dengan penelusuran terhadap hak-hak kepemilikan dan sejarahnya. Program sertifikat tanah pun harus menekankan kegunaan lahan secara produktif dan menjadi gerbang bagi program lain yang terkait dengan pengelolaan, seperti bagi penyuluhan tanah bagi lahan pertanian.
Optimalisasi juga dapat dilakukan dengan menggaungkan inisiatif dan melakukan sosialisasi terkait program dengan menyentuh aspek sosio-kultural di masyarakat. Pendekatan sosio-kultural dan kepemilikan tanah bagi perempuan juga dapat dilakukan dengan melakukan pengembangan kapasitas bagi perempuan. Contohnya bagi perempuan pada masyarakat adat dan perempuan kepala keluarga pemilik tanah, untuk memahami keikutsertaan pada pengambilan keputusan dalam kepemilikan tanah dan pengelolaan tanah.
Dengan demikian, perempuan bukan hanya secara legal memiliki tanah. Lebih jauh, perempuan dapat mengorganisir modal tersebut dan merasakan hasil dari kepemilikan tersebut untuk kemaslahatan yang lebih besar.
Nopitri Wahyuni, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, nopitri@theindonesianinstitute.com