Menyoal Kuantitas dan Kualitas Pangan Kita

lola-ameliaSetiap tanggal 16 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia (HPS). Tanggal itu bertepatan dengan berdirinya badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang fokus menangani isu pangan, yaitu Food and Agriculture Organization (FAO).

Tema HPS tahun ini yang ditetapkan PBB adalah “Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi”. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah agar ada peningkatan pemahaman dan kepedulian pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan lain terkait isu pangan untuk menyediakan pangan yang cukup secara kualitas untuk seluruh rakyat Indonesia, dan secara kualitas bernilai gizi baik.

Jika kita tilik lebih jauh, keseimbangan antara kuantitas dan kualitas pangan yang baiknya disediakan, merupakan kunci dari kemandirian pangan yang dicita-citakan. Sudah banyak diulas di media massa, bagaimana cara pemerintah Indonesia menjaga kuantitas pangan dalam negeri dengan melakukan impor berbagai jenis pangan. Mulai dari beras, gandum, kedelai, sapi, kambing hingga garam.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, untuk impor beras selama Januari-Juni 2013, tercatat sebesar 239 ribu ton. Sementara itu, jagung impor masuk ke Indonesia untuk periode yang sama tercatat 1,3 juta ton. Demikian pula dengan impor kedelai sebesar 826 ribu ton. Impor tepung terigu juga dilakukan dan tercatat mencapai 82.501 ton. Dan garam selama Januari-Juni 2013 diimpor sebesar 923 ribu ton.

Masifnya impor bahan pangan oleh pemerintah pada dasarnya disebabkan oleh beberapa hal. Utamanya yang sering disebutkan pemerintah adalah karena kurangnya produksi dalam negeri. Misalnya terkait impor sapi. Kebutuhan sapi di tahun 2013 menurut Kementerian Pertanian adalah sebesar 549,7 ribu ton. Dari jumlah itu, 474,4 ribu ton mampu dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6 persen) harus diimpor.
Kebijakan impor berbagai jenis pangan ini, dinilai sebagai kegagalan pemerintah sendiri dalam menggenjot produksi pangan dalam negeri. Kritikan ini masuk akal karena memang sebagian besar pangan yang diekspor, juga diproduksi di dalam negeri. Namun, pemerintah mengatakan kurang sehingga perlu mengimpor.

Pernyataan kurangnya pangan dalam negeri juga mendapat kritikan. Kurang di sini bisa juga berarti tidak merata distribusi pangan tersebut. Artinya fungsi pemerintah dalam hal menyediakan dan memastikan distribusi pangan merata, tidak berjalan. Misalnya terkait beras.

Di Pulau Jawa dengan infrastruktur yang memadai semua orang bisa mengakses beras, tapi tidak begitu di luar Jawa,  dimana makanan pokok penduduknya sudah digantikan beras juga. Hal ini seperti yang dialami di daerah-daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal inilah kemudian yang membuat petani “protes” kenapa musti impor, padahal ada produksi mereka tapi tak dimanfaaatkan untuk pemenuhan kebutuhan pangan di daerah lain yang membutuhkan.

Kemudian terkait kualitas pangan. Kualitas pangan salah satunya berhubungan dengan kondisi gizi masyarakat. Persoalan gizi ini di tingkat internasional maupun nasional menjadi perhatian utama di HPS tahun ini. Hal ini karena persoalan kurang gizi masih menjadi momok dalam pembangunan suatu bangsa.

World Food Program (WFP) mencatat bahwa tahun ini masih ada 2 Milyar orang yang kekurangan gizi di seluruh dunia, mulai dari yang kekurangan asupan vitamin hingga yang kronis. Kekurangan gizi terutama untuk balita dan ibu hamil menimbulkan keprihatinan mendalam karena akan berpengaruh kepada perkembangan balita dan calon bayi itu sendiri. Dalam jangka panjang, hal ini akan mempengaruhi kualitas manusia itu sendiri dan lebih luas lagi mempengaruhi pembangunan suatu negara.

Berdasarkan paparan di atas, terkait persoalan gizi, perlu kita catat bahwa persoalan gizi bukan semata menyangkut persoalan kesehatan. Persoalan gizi masyarakat juga adalah persoalan pertanian dan juga sektor-sektor pembangunan yang lain seperti pendidikan, infrastruktur dan sebagainya. Oleh karena itu, menaruh perhatian pada persoalan gizi secara spesifik dan pada pangan secara lebih luas harus menjadi prioritas pembangunan suatu negara termasuk Indonesia.

Untuk konteks Indonesia, selain perlu evaluasi terhadap kebijakan impor berbagai sumber pangan seperti yang diuraikan di atas, peningkatan kualitas sumber pangan lokal penting juga dilakukan, agar kebutuhan gizi masyarakat terpenuhi. Perlu dipastikan bahwa masyarakat mendapatkan makanan yang menyediakan semua nutrisi yang mereka butuhkan untuk mengembangkan potensi mereka sepenuhnya, untuk meningkatkan taraf hidup pribadi individu dan juga taraf hidup bangsa.

Lola Amelia-Peneliti Kebijakan Sosial The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com

Komentar