Menyelesaikan Polemik Transportasi Online

Senin (14/03/16) ribuan pengendara angkutan darat yang terdiri dari sopir taksi, metromini, bajaj, dan angkutan kota berunjuk rasa di dekat Istana Negara menuntut agar transportasi berbasis aplikasi (transportasi online) segera ditutup (news.detik.com, 14/03/16).

Aksi demonstrasi tersebut dilakukan untuk menolak transportasi online dengan dua alasan. Pertama karena dianggap ilegal. Kedua, karena keberadaan transportasi online berpotensi mematikan bisnis transportasi konvensional yang sudah ada sebelumnya, seperti ojek pangkalan, taxi, bajaj, angkutan kota, dan lain sebagainya.

Ketua Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD), Cecep Handoko, mengatakan para sopir angkutan darat terancam kehilangan mata pencaharian lantaran masyarakat sebagian besar beralih ke transportasi online. Misalnya supir taxi yang mengeluh, sejak kehadiran transportasi online, Uber dan GrabCar, penghasilannya menurun.

Kali ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) merespon aksi tolak transportasi online dengan mengeluarkan Surat bernomor AJ 206/1/1 PHB 2016 tertanggal 14 Maret 2016 ditujukan kepada Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) untuk memblokir aplikasi pemesanan angkutan Uber Asia Limited (Uber Taxi) dan PT Solusi Transportasi Jaya (GrabCar). Dalam surat tersebut tercantum 8 (delapan) alasan mengapa Kemenhub menyatakan bahwa Uber dan GrabCar tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan.

Kedelapan alasan tersebut diantaranya: (1) Uber dan GrabCar bukanlah kendaraan bermotor umum; (2) tidak memiliki badan hukum; (3) tidak memiliki izin penyelenggaraan angkutan; (4) penanaman modal asing namun tidak berbentuk perseroan terbatas; (5) pelanggaran terhadap Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (Keppres No. 90/2000) dan Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 22 Tahun 2011 mengenai transaksi jual beli barang dan jasa di Indonesia dengan perusahaan atau perorangan serta tidak akan ikut serta dalam bentuk apapun dalam pengelolaan sesuatu perusahaan, anak perusahaan atau cabang perusahaan yang ada di Indonesia; (6) tidak bekerjasama dengan perusahaan angkutan umum yang resmi akan tetapi bekerjasama dengan perusahaan ilegal maupun perorangan; (7) menimbulkan keresahan dan konflik dengan pengusaha angkutan dan pengemudi taxi resmi; dan (8) rawan adanya praktik angkutan liar dan angkutan umum semakin tidak diminati (www.hukumonline.com, 14/03/16).

Langkah Kemenhub meminta Menkominfo untuk menutup aplikasi menurut penulis adalah langkah yang keliru. Bahkan oleh Menkominfo dinilai gegabah karena pada kenyataannya layanan aplikasi tersebut terbukti memudahkan dan terjangkau (affordable) (bisnis.news.viva.co.id, 15/03/16).

Hal itu justru membuat Kemenhub terkesan tidak mau disalahkan atas kegagalannya membuat regulasi atau kebijakan tata kelola transportasi publik yang memadahi dan melindungi. Seharusnya yang dilakukan Kemenhub adalah segera menyusun kebijakan alternatif yakni melalui pembaharuan hukum sistem transportasi publik serta mengoptimalkan penegakannya.

Memang benar bahwa keberadaan transportasi online, dengan segala macamnya, Go-Jek, Blue-Jek, Lady-Jek, Grab Taxi (GrabCar, dan GrabBike), dan Uber, secara hukum adalah ilegal. Sebab menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22/2009) dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan (PP No. 74/2014) hanya diatur bahwa pengangkutan orang dengan kendaraan umum dilakukan dengan menggunakan mobil bus atau mobil penumpang.

Secara tekstual dapat diartikan bahwa kendaraan bermotor umum hanya ada dua yakni mobil bus atau mobil penumpang. Tetapi secara kontekstual tidak dapat kita nafikkan bahwa kendaraan beroda dua, misalnya ojek, baik ojek pangkalan maupun ojek online, dan kendaraan beroda tiga yakni bajaj misalnya, diakui dan diterima oleh masyarakat sebagai transportasi publik alternatif. Meskipun dalam undang-undang selama ini tidak diatur. Semua itu barulah dirasakan bermasalah setelah kehadiran transportasi online.

Sehingga ada dua permasalahan yakni di satu sisi transportasi yang “ilegal” itu dibutuhkan masyarakat. Di sisi lain hukum belum mengatur dan harus diakui penegakan hukum yang sudah ada selama ini lemah. Oleh karena itu tugas hukum secara responsif selanjutnya adalah mewadahi apa yang menjadi kepentingan masyarakat di dalam peraturan perundang-undangan agar tidak menimbulkan konflik berkepanjangan.

Dalam ketentuan menimbang UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, huruf b dinyatakan bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akutabilitas penyelenggaraan negara.

Dari sini dapat kita pahami bahwa undang-undang pun memiliki semangat untuk terbuka dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Artinya keberadaan transportasi online kedepan sangat dimungkinkan untuk diatur secara tertulis dalam undang-undang atau peraturan pemerintah.

Tujuannya untuk mengatur hal-hal mengenai perusahaan transportasi, misalnya harus berbentuk badan hukum untuk selanjutnya diberikan hak dan kewajiban, kewajiban perizinan, pajak (state revenue) dan lain-lain. Oleh karena ada hak dan kewajiban maka selanjutnya dapat pula diatur perihal sanksi apabila ada pelanggaran. Selain itu juga mengenai jaminan keamanan data dan keselamatan pengguna, termasuk juga perihal penanaman permodalan.

Berkaitan dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan hal itu dapat dipahami adalah resiko dari kebebasan pasar untuk melakukan inovasi. Di era globalisasi dan perkembangan teknologi tidak dapat dipungkiri persaingan akan semakin ketat dan masyarakat dituntut semakin kreatif. Namun Pemerintah tetap harus hadir untuk melakukan fungsi kontrol dan perlindungan bagi masyarakat khususnya dalam hal yang menyangkut kepentingan banyak orang.

Kehadiran transportasi online ini seharusnya menjadi dorongan bagi Perusahaan Transportasi Umum yang resmi di bawah organisasi angkutan darat (Organda) untuk bersaing menciptakan inovasi dan meningkatkan kualitas pelayanan.

Zihan Syahayani, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. Zihan@theindonesianinstitute.com

Komentar