Baru-baru ini, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ilham Saputra menyatakan, sebanyak 2.049 dari 8.037 caleg tidak membuka data pribadinya ke publik. Artinya, dalam situs infopemilu. kpu.go.id, caleg tersebut tidak mencantumkan sejumlah informasi, seperti riwayat pendidikan, riwayat organisasi, riwayat pekerjaan, hingga status khusus (terpidana/mantan/bukan mantan terpidana), motivasi, serta target/sasaran yang akan dikerjakan ketika telah menjadi anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota) (kompas.com, 7/2).
Namun, Ilham mengatakan, caleg memang memiliki hak untuk merahasiakan data pribadinya ke publik. Oleh karenanya, KPU tidak bisa sembarangan membuka data caleg tanpa persetujuan yang bersangkutan. Apalagi, data tersebut dilindungi oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam Pasal 17H disebutkan, data yang bersifat pribadi tidak bisa disebarluaskan begitu saja, karena ini menyangkut dengan hak konstitusional seseorang sebagai warga negara (kompas.com, 7/2).
Adanya kekhawatiran terkait penyalahgunaan data pribadi caleg disampaikan oleh Direktur Deteksi Ancaman Badan Siber dan Sandi Negara ( BSSN) Sulistiyo yang mewanti-wanti para penyelenggara dan peserta pemilu akan ancaman siber yang mungkin akan ditemui dalam Pemilu 2019. Ancaman yang dimaksud Sulistyo adalah leaks atau kebocoran data. Ia mencontohkan kasus viralnya gambar tidak senonoh mirip seorang kepala daerah di Jawa Timur (kompas.com, 7/2).
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini menyatakan keterbukaan informasi caleg sangat penting karena data diri berkaitan dengan akuntabilitas caleg. Jika caleg enggan membuka data pribadinya ke publik, maka pemilih akan kesulitan mengenali profil, memantau rekam jejak, dan mengetahui program caleg (kompas.com, 7/2).
Menurut penulis, keterbukaan informasi data caleg perlu dikaitkan dengan upaya implementasi open government. Open government itu sendiri, merupakan istilah yang digunakan untuk mendorong upaya peningkatan kualitas keterbukaan pemerintah dan pelayanan publik. Terkait dengan open government, Harisson, et al (2012), open government dilandasi beberapa prinsip, seperti transparansi, partisipasi, dan kolaborasi. Menurut penulis, penerapan prinsip-prinsip open government dalam pemilu merupakan bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat.
Pada penjelasan atas Pasal 1 angka 1 Undang-Undang RI No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” yaitu bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui Pemilu sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih pemimpin melalui Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung, serta memilih wakilnya yang akan menjalankan fungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi politik rakyat, membuat undang-undang sebagai landasan bagi semua pihak di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam menjalankan fungsi masing-masing, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut.
Oleh karena itu berdasarkan penjelasan terhadap kedaulatan rakyat diatas, penulis berpendapat bahwa perwujudan kedaulatan rakyat harus diawali dengan transparansi data para caleg. Penting bagi rakyat untuk mengetahui profil pribadi para calon yang nantinya mewakili rakyat berfungsi melakukan pengawasan, menyalurkan aspirasi, membuat undang-undang, serta merumuskan anggaran pendapatan dan belanja untuk membiayai pelaksanaan pembangunan selama lima tahun ke depan.
Selanjutnya, terkait dengan prinsip partisipasi masyarakat dalam Pemilu, Pasal 448 ayat (1) UU tentang Pemilu juga menyebutkan bahwa pemilu diselenggarakan dengan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pemilu diselenggarakan dalam bentuk sosialisasi pemilu, termasuk sosialisasi tentang para caleg yang mengikuti Pemilu 2019. Oleh karena itu, sangat penting bagi masyarakat mendapatkan data yang mencukupi terkait data para caleg.
Selain itu, terkait dengan prinsip kolaborasi, dengan terbukanya data pribadi caleg, maka ke depan, masyarakat dapat memberikan aspirasinya, guna membantu para legislatif untuk membuat aturan yang menunjang pembangunan dan perbaikan pelayan publik.
Menurut penulis, guna mendorong keterbukaan informasi data caleg sebagai bentuk perwujudan kedaulatan rakyat, diperlukan revisi UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terutama Pasal 17 yang mengatur informasi yang dikecualikan.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com