Menunggu Akhir Perdebatan Presidential Threshold (PT)

arfiantoPembahasan  Rancangan Undang-Undang Perubahan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (RUU Pilpres) kembali bergulir. Setelah mengalami beberapa kali deadlock dalam pengambilan keputusan. Ketua Badan Legislatif DPR, Ignatius Mulyono menyatakan batas waktu sampai Oktober 2013 harus sudah ada keputusan, karena tahapan pemilihan presiden dan wakil presiden sudah akan mulai dilakukan.

Pengambilan keputusan RUU Pilpres tidak kunjung selesai karena masih adanya perbedaan pandangan dari fraksi-fraksi yang ada di DPR. Perbedaan pandangan yang paling krusial yaitu pada penentuan Presidential Threshold (PT).

Pada pasal 9 UU No 42 Tahun 2008 disebutkan bahwa pasangan calon presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.

Lima fraksi seperti Fraksi Demokrat, Golkar, PDI-P, PAN, PKS dan PKB menginginkan agar PT tetap seperti yang ada dalam UU No 42 Tahun 2008. Sedangkan Fraksi Gerindra, PPP, dan Hanura menginginkan adanya revisi terhadap PT tersebut.

Fraksi yang menginginkan revisi beralasan bahwa dalam Pasal 6A UUD 1945 pasca amandemen, disebutkan bahwa pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau gabungan Partai Politik. Tidak ada ketentuan yang mengatur prosentase PT sebesar 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional.

Sedangkan fraksi yang menolak adanya revisi menganggap bahwa prosentase PT sebesar 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara nasional, mencerminkan komitmen terhadap penguatan sistem sistem presidensial.

Belum adanya titik temu penentuan PT ini, menyebabkan pembahasan RUU ini pun berlarut-larut hingga memakan waktu 1,5 tahun lamanya. Alih-alih dengan alasan ingin mempertahankan angka PT ataupun dengan alasan mengurangi prosentase PT, pembahasan PT dalam RUU Pilpres bak adu kuat untuk kepentingan meloloskan calon presiden dari masing-masing partai.

Pengamat LIPI Syamsuddin Haris mengatakan semestinya politisi dan petinggi parpol membuka diri terhadap kritik, serta tidak terperangkap ke dalam egoisme sempit masing-masing parpol. Akibatnya, yang muncul adalah “debat kusir” , karena sikap parpol hanya bertolak dari posisi subjektif dan kepentingan jangka pendek kekuasaan.

Berlarutnya pembahasan ini mencerminkan parpol masih mementingkan kepentingannya dibandingkan merespon segera kebutuhan rakyat. Tidak mengherankan jika surveiLembaga Survei Nasional (LSN) (16/7), menyatakan tingkat kepercayaan publik terhadap integritas parpol hanya 42,6 %. Sedangkan 53,9 % mengaku kurang percaya pada parpol, dan sisanya 3,5 % menjawab tidak tahu.

Perdebatan tentang prosentase PT harus segera diakhiri dan menghasilkan keputusan tentang UU Pilpres. Menurut pandangan penulis, besaran prosentase PT harus mendukung sistem presidensial. Besaran prosentase 20-25 % relevan dalam memperkuat sistem presidensial. Artinya, dalam Pilpres 2014 nanti, dimungkinkan hanya muncul 2 sampai 3 pasang calon yang didukung oleh parpol maupun koalisi parpol yang benar-benar merepresentasikan suara rakyat.

Namun, beberapa hal perlu menjadi catatan. Pertama, posisi presiden merupakan pusat kekuasaan yang tidak tersandera oleh koalisi parpol pendukung. Kedua, membangun dukungan politik yang efektif dari koalisi baik di kabinet dan di parlemen. Ketiga, parpol yang kalah dalam pilpres diharapkan menjadi oposisi yang permanen dalam parlemen sehingga ada pembeda yang tegas parpol oposisi dan pendukung.

Terlepas dari perdebatan besaran PT, Parpol harus segera mempersiapkan diri menjelang Pemilu 2014 dengan membuat gagasan dan program yang menjawab kebutuhan rakyat di masa akan datang.  Pada akhirnya, rakyat lah yang akan memilih parpol serta capres yang dapat menjawab kebutuhan rakyat.

Arfianto Purbolaksono – Peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar