Menilik Implikasi Kebijakan PPKM Darurat

Sejak 3 Juli 2021, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk wilayah Jawa-Bali. Sebelumnya, ada sebutan lain yang juga diperkenalkan pemerintah sejak awal pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar dan PPKM mikro. Adapun alasan pemerintah menerapkan kebijakan ini lantaran terjadinya peningkatan kasus positif COVID-19 di Indonesia yang mengalami kenaikan signifikan. Dihimpun dari beberapa sumber, kasus positif harian di Indonesia bisa mencapai lebih dari 50.000 kasus. Jika dikalkulasi total, kasus positif COVID-19 di Indonesia mencapai 3.166.505 (covid19.go.id, 2021).

Oleh sebab itu, untuk menurunkan angka positif COVID-19 di Indonesia, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk membatasi kegiatan masyarakat kembali. Tentu saja kebijakan ini membawa implikasi yang tidak mudah. Terlebih jika dilihat kebijakan PPKM Darurat ini diberlakukan di dua pulau yang cukup memberikan sumbangsih paling besar terhadap perekonomian di Indonesia. Di Pulau Jawa, di Provinsi DKI Jakarta, setidaknya 70 persen uang beredar. Kemudian, dari data Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2019, DKI Jakarta menyumbang sebesar 17.93 persen terhadap PDB Indonesia atau sebesar Rp2.840,33 triliun. Namun, secara umum, Pulau Jawa sendiri menyumbang sebesar 56 persen terhadap PDB Indonesia. Sementara itu, Pulau Bali dan Nusa Tenggara menyumbang sebesar 3,06 persen terhadap PDB Indonesia pada tahun 2019. Dengan demikian, diberlakukannya kebijakan PPKM Darurat yang mengakibatkan menurunnya mobilitas sosial telah berpengaruh terhadap perekonomian secara umum, khususnya pada kuartal II-2021.

Kendati demikian, perlu dicatat bahwa suatu kebijakan tidak dapat menyenangkan semua pihak. Jika mencari kebijakan yang dapat menyenangkan semua pihak, ada dua hal yang dapat dilakukan. Pertama, Pemerintah tidak pernah membuat kebijakan, atau membuat kebijakan yang tidak bisa diimplementasikan karena harus mengakomodasi terlalu banyak pihak, sehingga kebijakan tidak bisa jalan. Pembuat kebijakan tidak dapat menyenangkan semua pihak dalam membuat suatu kebijakan. Yang dapat dilakukan adalah membuat kebijakan yang memberi manfaat paling besar untuk semua pihak.

Dari penjabaran di atas, perlu menjadi perhatian bahwa sektor ekonomi tidak dapat berjalan penuh selama sektor kesehatan belum dapat diatasi. Selama vaksin belum mencapai 60 persen atau herd immunity terbentuk, maka protokol kesehatan masih harus tetap dijalankan. Tidak menutup kemungkinan kebijakan semacam PPKM Darurat juga akan diberlakukan kembali. Implikasinya, ekonomi tidak akan beroperasi 100 persen. Putaran berikutnya, jika hal ini terus-menerus dibiarkan, maka pemulihan ekonomi juga akan terhambat. Oleh sebab itu, maka untuk menyelesaikan krisis ekonomi, kita perlu menyelesaikan terlebih dahulu krisis kesehatan. Dengan demikian, trade off antara ekonomi dan kesehatan tidak akan terjadi.

Rekomendasi Kebijakan

Berangkat dari penjabaran di atas, berikut beberapa rekomendasi yang dapat diambil pemangku kebijakan untuk menyukseskan kebijakan PPKM untuk menghindari trade off yang berat bagi perekonomian.

Pertama, untuk membuat kebijakan PPKM Darurat ini berjalan dengan sukses, Pemerintah Pusat melalui Gugus Tugas Penanganan COVID dan Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional harus melakukan pengawasan secara ketat kepada warga yang berada di wilayah PPKM Darurat untuk mematuhi aturan yang berlaku selama kebijakan ini dilaksanakan. Pemerintah Pusat dapat berkoordinasi dengan para Gubernur, Wali Kota hingga jajaran pemangku kepentingan paling mikro di masyarakat, seperti ketua RT/RW untuk melakukan pengawasan secara ketat pelaksaan PPKM Darurat. Dengan demikian, kebijakan tersebut ini dapat berjalan dengan efektif.

Kedua, perlu dicatat juga bahwa kebijakan PPKM Darurat ini akan bias kepada kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah yang tidak memiliki pilihan lain selain melakukan aktivitas seperti biasa. PPKM Darurat memaksa semua orang beraktivitas dari dan di rumah. Maka, para pelaku bisnis, pekerja, maupun pihak terkait lainnya akan kehilangan biaya peluang/opportunity cost yang mereka dapatkan jika bekerja/beraktivitas di luar rumah. Oleh sebab itu, Pemerintah Pusat dan Kementerian Sosial bersama dengan Kementerian Keuangan harus memberikan insentif bagi warganya untuk tinggal di rumah. Putaran berikutnya, instrumen pemberian bantuan sosial, baik itu berupa Bantuan Sosial Tunai (BST), sembako, Kartu Prakerja, hingga Program Keluarga Harapan (PKH), atau pun bantuan listrik lainnya harus memiliki nafas yang panjang. Pemberian bantuan sosial ini harus diperpanjang minimal hingga 2 bulan pasca kebijakan PPKM Darurat ini diberlakukan mengingat dampak sosial ekonomi dari kebijakan PPKM Darurat ini tentu masih akan dirasakan.

.

  1. Rifki Fadilah, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, rifki@theindonesianinstitute.com

Komentar