Pada 2 September 2024 kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data inflasi di bulan Agustus 2024 yang mana nilainya terhitung 2,12 persen secara tahun ke tahun (year-on-year atau yoy). Namun, nilai ini hanya -0,03 persen jika dilihat secara month-to-month atau mtm. Ketika nilai inflasi bertanda negatif, misalnya -0,03 persen, maka ini disebut sebagai deflasi. Deflasi atau penurunan tingkat harga barang dan/atau jasa selama periode tertentu adalah kebalikan dari inflasi.
Selama tahun 2024, kondisi deflasi sudah terjadi sejak bulan Mei yang nilainya sama dengan deflasi Agustus secara mtm. Angka deflasi ini meningkat ke 0,08 persen mtm di bulan Juni dan meroket cukup signifikan ke 0,18 persen mtm di bulan Juli. Dengan kata lain, Indonesia telah mengalami deflasi empat bulan berturut-turut (Mei-Juni-Juli-Agustus). Lalu, apa penyebab deflasi di bulan Juli dan Agustus 2024 ini?
Merujuk pada Berita Resmi Statistik oleh BPS (1 Agustus 2024), deflasi sebesar 0,18 persen mtm di bulan Juli 2024 itu didorong oleh inflasi di kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau dengan nilai -0,97 persen mtm yang mana menyumbang inflasi sebesar -0,28 persen mtm. Secara umum, komoditas pangan menyumbang deflasi terbesar di bulan Juli 2024, seperti bawang merah (0,11 persen mtm), cabai merah (0,09 persen mtm), tomat (0,07 persen mtm), dan daging ayam ras (0,04 persen mtm). Sementara itu, walaupun nilai tingkat harga bulan Agustus 2024 sudah lebih baik dibandingkan bulan Juli, deflasi di komoditas pangan baik bawang merah (0,08 persen mtm), daging ayam ras dan tomat yang masing-masing 0,03 persen mtm, serta telur ayam ras (0,02 persen mtm) masih memiliki andil bagi deflasi di bulan Agustus 2024.
Dilansir dari rri.co.id (3 September 2024), BPS menerangkan bahwa deflasi yang terjadi di bulan Agustus selama lima tahun terakhir disumbang oleh turunnya harga komoditas volatile food. Penurunan tingkat harga bagi bawang merah dan tomat tadi disebabkan oleh meningkatnya suplai dari panen di sentra produksi. Selain itu, BPS juga menyatakan bahwa deflasi selalu terjadi untuk komoditas bawang merah dan daging ayam ras di setiap bulan Agustus selama 2022-2024, sementara bawang merah, daging ayam, dan telur ayam ras memiliki tren deflasi sejak bulan Juni 2024. Berdasarkan paparan BPS tersebut, deflasi yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh peningkatan pasokan yang menurunkan harga.
Dalam teori ekonomi, deflasi yang diakibatkan oleh peningkatan sisi penawaran ini, baik itu oleh peningkatan produktivitas seperti yang terjadi di komoditas pangan, disebut sebagai “benign” deflation. Dalam “benign” deflation, penurunan harga barang dan/atau jasa alias deflasi ini dikarenakan ekonomi yang bertumbuh. Misalnya, yang didorong oleh kemajuan teknologi sehingga menurunkan biaya produksi maupun bertambahnya factor input, seperti peningkatan pasokan tenaga kerja (Szczepański, 2015).
“Benign” deflation dapat dijelaskan oleh persamaan inflasi dalam Acemoglu et al. (2022) yang mengatakan bahwa inflasi adalah selisih dari tingkat pertumbuhan uang beredar (money supply) dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) riil. Dengan kata lain, ketika tingkat pertumbuhan output riil lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan uang beredar (yang mana tingkat pertumbuhan uang beredar tidak secepat tingkat pertumbuhan PDB riil yang diakibatkan oleh, misalnya, kebijakan moneter kontraktif), maka ekonomi Indonesia memproduksi lebih banyak barang dan/atau jasa yang bermuara pada turunnya harga barang dan/atas jasa tersebut atau “benign” deflation.
Dari penjelasan di atas, setidaknya muncul dua pertanyaan. Pertama, apakah benar deflasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 2024 ini adalah bentuk dari “benign” dan bukan “malign” deflation (deflasi yang terjadi bukan karena pertumbuhan sisi penawaran, tetapi lemahnya permintaan agregat)? Kedua, jika yang terjadi adalah “malign” deflation, apa yang harus dilakukan pemerintah?
Menjawab pertanyaan pertama memang bukan pekerjaan yang mudah karena harus dibuktikan dengan ilmiah melalui pendekatan dan data yang relevan. Sementara, pertanyaan kedua mungkin dapat dijabarkan dengan mengasumsikan jika yang terjadi adalah “malign” deflation alias deflasi yang timbul karena lemahnya sisi permintaan. Sebelum membahas rekomendasi bagi pemerintah, jika yang terjadi adalah “malign” deflation, mari membahas sekilas tentang “malign” deflation.
“Malign” deflation didorong oleh kondisi menurunnya permintaan yang merupakan indikasi dari adanya kemerosotan ekonomi maupun resesi ekonomi. Ketika ada indikasi kemerosotan ekonomi, misalnya, ketika masyarakat sudah tidak memiliki uang untuk berbelanja dan pengeluaran lainnya sehingga jumlah uang beredar menjadi semakin sedikit, para pengusaha dan pebisnis akan menurunkan harga dari barang dan/atau jasa yang diproduksi untuk menarik minat masyarakat, sehingga memutar roda ekonomi. Walaupun harga sudah lebih murah, masyarakat justru menahan untuk berbelanja karena ada ekspektasi harga tersebut akan menjadi semakin murah. Dengan tidak adanya transaksi ekonomi, dunia usaha akan merugi karena barang dan/atau jasanya tidak laku walaupun dengan harga murah, sehingga menyebabkan ekonomi masuk dalam “lingkaran setan”, seperti penggangguran bertambah karena pemutusan hubungan kerja (PHK) untuk memangkas beban biaya perusahaan yang menyebabkan semakin menurunnya permintaan agregat yang kemudian bermuara pada ketiadaan pertumbuhan ekonomi (Szczepański, 2015).
Apakah ada indikasi “malign” deflation tersebut di Indonesia? Mungkin bisa dilihat dari menurunnya Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia di bulan Agustus 2024, yaitu 48,9, atau turun dari 49,3 di bulan Juli 2024 (S&P Global, 2 September 2024). Data PMI ini dapat digunakan untuk menilai kondisi ekonomi dan bisnis Indonesia, apakah kontraktif (di bawah nilai 50) atau ekspansif (di atas nilai 50). Terlihat bahwa kondisi ekonomi dan bisnis Indonesia di bulan Agustus 2024 adalah kontraktif.
S&P Global (2 September 2024) juga menyebutkan bahwa penurunan tajam di permintaan baru dan output selama tiga tahun mengakibatkan penurunan perekonomian di sektor manufaktur di mana perusahaan menanggapi hal tersebut dengan mengurangi karyawan, walaupun kontraksi ini dipercaya berlangsung sementara. Oleh karena itu, berdasarkan data di atas, indikasi “malign” deflation mungkin terjadi di Indonesia.
Lalu, apa yang bisa dilakukan pemerintah jika deflasi yang terjadi adalah “malign” deflation? Guna menggalakkan perputaran ekonomi dari sisi permintaan, pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perlu mengimplementasikan kebijakan moneter dan fiskal ekspansif untuk merangsang jumlah uang beredar. Kebijakan moneter ekspansif itu dapat berupa quantitative easing (QE) maupun menurunkan tingkat suku bunga acuan.
Di sisi lain, kebijakan moneter ekspansif berupa stimulus fiskal yang menargetkan pengeluaran pemerintah untuk membangun sarana dan prasarana, seperti infrastruktur perkantoran, infrastruktur manufaktur, infrastruktur kesehatan, infrastruktur pendidikan, serta program insentif potongan pajak untuk individu, maupun bantuan langsung tunai (BLT). Pada intinya, pemerintah harus dapat menjaga nilai deflasi tidak terlalu rendah dan nilai inflasi tidak terlalu tinggi melalui kombinasi instrumen moneter dan fiskal yang membutuhkan kolaborasi berbagai pihak.
Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
putu@theindonesianinstitute.com