Data rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada 16 Juli 2018, menunjukkan bahwa persentase angka kemiskinan di Indonesia mampu turun di angka 9,82 persen pada bulan Maret 2018. Capaian tersebut menjadi catatan positif bagi kinerja pemerintah mengingat sejak masa krisis moneter persentase angka kemiskinan di Indonesia selalu di atas 1 digit. Pada tahun sebelumnya di periode bulan yang sama, persentase angka kemiskinan masih berada pada angka 10,64 persen. Kemudian, jika dikalkulasi dalam satu tahun terakhir, penduduk yang mampu lepas dari jeratan garis kemiskinan mencapai 1,8 juta jiwa (BPS, 2018).
Bambang Brojonegoro selaku Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengklaim bahwa penurunan angka kemiskinan yang saat ini terjadi tidak terlepas dari bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah. Ia menambahkan, bantuan sosial seperti Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan pangan non tunai, kartu sehat dan kartu pintar berdampak positif dalam meningkatkan konsumsi masyarakat (kompas.com, 18/7).
Lebih jauh, jika menengok kembali target pemerintah yang tertuang dalam APBN 2018, angka kemiskinan dipatok sebesar 9,5 persen pada akhir tahun 2018. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih harus bekerja ekstra keras untuk menurunkan angka kemiskinan, minimal 0,32 poin dalam kurun waktu 5 bulan yang tersisa.
Ada beberapa catatan penting dibalik fenomena angka kemiskinan di Indonesia. Meskipun secara nasional angka kemiskinan mampu turun cukup signifikan, namun jika diteliti lebih jauh, terdapat gap kemiskinan di wilayah pedesaan dan wilayah perkotaan. Terkonfirmasi melalui data BPS, dari 34 provinsi, rata-rata angka kemiskinan di wilayah perkotaan justru mengalami peningkatan sebesar 1,6 persen pada bulan Maret 2018. Sedangkan di wilayah pedesaan ada kecenderungan penurunan kemiskinan sebesar 1,1 persen. Persoalan ini mengindikasikan bahwa belum adanya keselarasan pembangunan yang ada di wilayah pedesaan maupun perkotaan.
Penulis berpendapat penurunan angka penduduk miskin di wilayah pedesaan dimungkinkan karena adanya program “Dana Desa” yang diberikan pemerintah. Tercatat sejak tahun 2015 hingga 2018 ini, alokasi anggaran untuk program “Dana Desa” mencapai Rp 186 triliun. Anggaran tersebut setidaknya digunakan untuk perbaikan pasar desa, pembangunan jalan, jembatan, sarana irigasi, serta beberapa infrastruktur lain (http://www.tribunnews.com, 8/6).
Sementara itu, penurunan angka kemiskinan kontribusi terbesar mayoritas masih berada di wilayah yang ada di Pulau Jawa. Mengacu data dari BPS, Pulau Jawa masih memberikan andil penurunan angka kemiskinan dengan rata-rata sebesar 4,7 persen. Sedangkan provinsi-prosinsi di luar Pulau Jawa secara akumulatif memberikan kontribusi dengan rata-rata hanya 0,87 persen pada bulan Maret 2018.
Penguatan Sektor Riil
Untuk memahami persoalan kemiskinan diperlukan upaya pemerintah, yang salah satunya melalui penguatan sektor riil. Penguatan sektor riil seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) penting dilakukan karena peran UMKM sangat strategis dalam pembangunan. Berdasarkan hasil kajian Bank Indoensia, rata-rata sektor UMKM mampu memberikan kontibusi terhadap PDB sekitar 60 persen, serta kurang lebih mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 90 persen.
Peran pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UMKM sangat penting dalam memberikan fasilitas program dan kebijakan yang kondusif, yang dapat meningkatkan produktivitas dan kapasitas pelaku UMKM. Hal ini penting mengingat mayoritas kelompok masyarakat pendapatan rendah bekerja di sektor informal seperti UMKM.
Program-program pemerintah yang sifatnya bantuan tunai, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) harusnya lebih ditekan. Program tersebut justru hanya mampu mengatasi persoalan kemiskinan dalam jangka pendek. Program tersebut hanya memanjakan masyarakat miskin untuk hidup konsumtif.
Masyarakat miskin mayoritas memiliki pendidikan yang masih rendah, sehingga justru dibutuhkan program yang diarahkan untuk pelatihan maupun fasilitasi akses kredit usaha. Dengan demikian, program seperti ini berpotensi lebih dapat meningkatkan kemampuan dan produktivitas usaha.
Lebih lanjut, pemerintah juga perlu memetakan wilayah-wilayah yang memiliki prevalensi tinggi terjadinya angka kemiskinan. Kondisi tersebut salah satunya bisa dilihat dari persentase penurunan tingkat kemiskinan yang terjadi di masing-masing daerah. Langkah tersebut penting dilakukan guna menyusun program strategis pemerintah yang tepat sasaran.
Dengan demikian, upaya-upaya tersebut patut menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk memenuhi target angka kemiskinan sebesar 9,5 persen di akhir tahun 2018.
Riski Wicaksono, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, riski@theindonesianinstitute.com