Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari menyatakan pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) telah selesai dan resmi ditutup (cnnindonesia.com, 25/10). Tiga pasangan calon sudah resmi mendaftar sebagai peserta Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Ketiga pasangan calon tersebut yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang didukung oleh Koalisi Perubahan dengan tiga partai pendukungnya yaitu Partai Nasdem, PKB, dan PKS. Selanjutnya, pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang didukung oleh PDIP, PPP, Hanura, dan Perindo.
Kemudian, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka yang didukung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang beranggotakan tujuh partai yaitu Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Garuda. Dengan adanya tiga pasang capres dan cawapres, lantas bagaimana dengan partisipasi pemilih pada pemilu 2024 nanti? Tulisan ini mencoba mengupasnya.
Indonesia telah menyelenggarakan Pemilu sebanyak 12 kali sejak tahun 1955. Pada Pemilu Legislatif 1955, tingkat partisipasi pemilih mencapai 91,4 persen. Adapun, jumlah suara sah nasional mencapai 37,79 juta suara dengan jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 257. Memasuki era Orde Baru, Pemilu diselenggarakan lagi pada tahun 1971. Pada Pemilu legislatif 1971, tingkat partisipasi pemilih mencapai 96,6 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah.
Tingginya partisipasi pemilih kala itu, bukan karena kesadaran masyarakat akan pentingnya pemilu, melainkan karena mobilisasi yang dilakukan oleh mesin politik rezim Orde Baru yang terdiri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Golongan Karya (Golkar), dan birokrasi untuk memobilisasi pemilih.
Partisipasi pemilih di era Orde Baru terhitung rendah yaitu 93, 6 persen di Pemilu tahun 1997. Menurunnya partisipasi di Pemilu 1997 dikarenakan menguatnya kelompok masyarakat yang melakukan golput (golongan putih). Golput sendiri merupakan gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan pemilu (Sanit dalam Arianto, 2011).
Mengulas tentang golput, Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan. Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah (Arianto, 2011).
Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tidak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tidak percaya bahwa pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain (Arianto, 2011).
Lengsernya Soeharto menandai lahirnya era reformasi. Di era ini, Pemilu diadakan pada tahun 1999, tercatat sebanyak 48 partai politik menjadi peserta pemilu. Tingkat partisipasi pemilih pun terhitung cukup tinggi yaitu mencapai 92,7 persen. Namun, memasuki Pemilu 2004 dan Pemilu 2009, tingkat partisipasi menunjukkan penurunan. Penurunan ini dikarenakan meningkatnya angka golput di kedua Pemilu tersebut. Selanjutnya, tingkat partisipasi Pemilu khususnya pemilihan legislatif kembali menunjukkan peningkatan menjadi 75,11 persen pada Pemilu 2014. Kemudian, pada Pemilu 2019, angka partisipasi kembali meningkat mencapai 81,69 persen.
Mengutip pendapat Ramlan Surbakti (1992) tentang dua variabel penting yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik yaitu: pertama, tingkat kesadaran politik. Kedua, menyangkut bagaimana penilaian terhadap kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pemerintahnya.
Mengacu kepada dua variabel tersebut, Purbolaksono (2019) menilai bahwa meningkatnya angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 menandakan semakin tingginya kesadaran politik warga negara tentang hak dan kewajibannya. Hak dan kewajiban warga negara dalam bidang politik salah satunya diimplementasikan melalui berpartisipasi dalam Pemilu. Kemudian jika mengacu pada variabel kedua, tentang penilaian pemilih terhadap kinerja pemerintahan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya pembelahan pendukung kedua calon presiden dan wakil presiden kala itu.
Bagi pendukung Joko Widodo (Jokowi) – KH Ma’ruf Amin yang juga petahana, maka penilaian pemilih akan menilai kinerja pemerintahan Jokowi sangat baik dan perlu dilanjutkan pada periode kedua. Sedangkan di kubu pendukung Prabowo Subianto – Sandiaga Uno, maka akan menilai kinerja pemerintahan Jokowi sangat buruk, maka perlu digantikan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mereka dukung. Bagaimana di Pemilu 2024?
Berdasarkan dua variabel di atas, nampaknya kesadaran politik masih akan sama dengan pemilu sebelumnya. Antusiasme untuk memilih masih cukup tinggi seperti dengan Pemilu 2019. Apalagi saat ini terdapat tiga pasangan calon yang akan berkompetisi sehingga akan mendorong partisipasi politik pemilih. Ketiga pendukung capres dan cawapres akan mendorong pemilih untuk menggunakan hak pilihnya sebagai warga negara demi memperjuangkan calon pilihannya.
Pada variabel kedua, terkait dengan penilaian kinerja pemerintah, walaupun saat ini tidak ada petahana seperti Pemilu 2019, tetapi terdapat kandidat yang mewakili wajah pemerintahan saat ini, misalnya saja seperti pasangan Prabowo Subianto yang notabene Menteri Pertahanan dan Gibran Rakabuming Raka sebagai anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Penilaian kinerja terhadap Pemerintahan Jokowi tentunya akan berdampak pada tingkat partisipasi memilih untuk mendukung pasangan calon Prabowo-Gibran. Jika penilaian masyarakat baik terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi tentunya akan ada kenaikan partisipasi untuk memilih pasangan ini. Namun, jika penilaian kinerja Pemerintahan Jokowi buruk, maka pasangan ini pun akan terimbas dengan minimnya partisipasi untuk memilih pasangan ini dan akan memilih pasangan lainnya.
Selain itu, faktor yang juga dapat mempengaruhi tingkat partisipasi pemilih dikarenakan meningkatnya angka golput. Golput bisa jadi karena sebagai bentuk protes mereka terhadap perilaku elit politik yang ada saat ini, atau golput karena tidak percaya kinerja dengan penyelenggara pemilu. Oleh karena itu hal ini perlu disikapi bersama oleh seluruh peserta dan penyelenggara pemilu untuk menyelenggarakan kompetisi secara baik sehingga masyarakat akan menilai dan sadar untuk memberikan suaranya pada Pemilu 2024.
Arfianto Purbolaksono
Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute
arfianto@theindonesianinstitute.com