Rilis pertumbuhan ekonomi triwulan I-2016 menunjukan angka sebesar 4,92 persen (Badan Pusat Statistik, 04/05/16). Hal ini menunjukan bahwa Indonesia telah mengalami pelemahan pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya di tahun 2015. Namun, di tengah perlambatan pertumbuhan yang ada, perekonomian dipercaya masih akan mampu tumbuh secara optimal di periode yang akan datang mengingat masih terdapat sektor potensial yang belum dikelola dengan baik.
Salah satu sektor yang dipercaya mampu menopang pertumbuhan ekonomi tersebut adalah ekonomi digital. Tapscott, seorang pakar ekonomi digital, (1998) menjelaskan ekonomi digital sebagai sebuah sosiopolitik dan sistem ekonomi yang memiliki ciri sebagai sebuah ruang intelijen, meliputi informasi, berbagai akses instrumen informasi dan pemrosesan informasi, serta kapasitas komunikasi. Keberadaan ekonomi digital akan ditandai dengan semakin maraknya perkembangan bisnis atau transaksi perdagangan yang memanfaatkan internet sebagai medium komunikasi, kolaborasi, dan kooperasi antar perusahaan ataupun individu.
Ekonomi digital dipercaya akan mampu menjawab tantangan pembangunan yang selama ini masih mengahantui perekonomian dalam negeri. Bentuk ekonomi ini hadir dengan topografi yang landai, inklusif, dan memberikan banyak peluang disaat empat era ekonomi sebelumnya, yakni era masyarakat pertanian, era mesin pasca revolusi industri, era perburuan minyak, dan era kapitalisme korporasi multinasional, tidak mampu menjawab permasalahan yang ada (Jusman Dalle, 2016).
Di dalam negeri, perkembangan ekonomi digital sudah tidak dapat diragukan lagi, terlebih di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar. Barang kebutuhan dasar yang semula hanya dapat diperdagangkan dalam transaksi konvensional, kini sudah dapat dilakukan dalam bentuk e-Dagang. Masyarakat (konsumen) tidak perlu lagi memusingkan waktu dan biaya tambahan yang harus dikeluarkan ketika membutuhkan sebuah barang.
Laporan yang dipublikasikan oleh McKinsey & Company (2015) menyebutkan bahwa perusahaan asal Indonesia merupakan kompetitor kuat jika dikaitkan dengan perdagangan digital. Redwig Strategic Advisory Company (2015) juga menyebutkan hal yang senada. Menurutnya, Indonesia merupakan pemain utama dalam perdagangan digital. Masih dari sumber yang sama, pertumbuhan perdagangannya diprediksi akan mampu tumbuh hingga 10 kali lipat dari situasi yang ada saat ini. Hal ini tentu menjadi portofolio yang menjanjikan bagi Indonesia di mata investor asing.
Dilihat dari segi konsumen rasanya Indonesia juga merupakan pasar yang sangat potensial. Sebagai negara dengan jumlah populasi terbanyak ke-4 di dunia, kekuatan pasar domestik tentu tidak dapat dipandang sebelah mata. Terlebih, pendapatan per kapita yang dimiliki masyarakat Indonesia menunjukan tren yang selalu positif meningkat sejak tahun 2006. Industri digital tentu akan semakin bergairah dengan kondisi ini.
Pertumbuhan kelas menengah serta penetrasi internet juga tidak dapat dikesampingkan. Bank Dunia mencatat bahwa Indonesia telah mengalami pertumbuhan kelas menengah yang begitu fantastis sejak krisis moneter tahun 1998. Pertumbuhan kelas menengah ini diprediksi akan terus meningkat hingga tahun 2030 dengan populasi sebanyak 141 juta jiwa.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, potensi ekonomi digital juga tidak terlepas dari penetrasi internet yang ada saat ini. Lembaga riset eMarketer mencatat bahwa pada tahun 2014 lalu jumlah pengguna internet di dalam negeri sudah sebanyak 83.7 juta jiwa. Angka ini diprediksi akan terus meningkat seiring dengan majunya teknologi di Indonesia. Litbang Kompas memprediksi bahwa angka tersebut akan terus meningkat dan di tahun 2017 jumlahnya akan sebanyak 117 juta jiwa. Hal ini tentu menjadikan Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial bagi para pedagang atau pelaku bisnis e-Dagang.
Potensi yang besar ini tentu tidak akan mampu digunakan secara optimal apabila para pemangku kepentingan tidak mengantisipasi masalah yang akan datang mengiringi. Salah satu masalah yang cukup berpotensi adalah hilangnya potensi pajak dan kekosongan hukum yang mengatur proses transaksi perdagangan secara digital.
Pusat Studi Prakarsa memperkirakan bahwa potensi pajak yang bisa digali dari industri ini bisa mencapai 10-15 triliun rupiah per tahunnya. Angka ini tentu bukanlah nominal yang sedikit. Sayangnya, Direktur Jenderal Pajak dalam Surat Edaran Nomor SE/62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan Atas Transaksi e-Dagang menyatakan bahwa tidak ada pajak baru pada transaksi e-Dagang sehingga berlakunya ketentuan umum dan tidak ada perbedaan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan antara transaksi konvensional dengan elektronik. Ini tentu menyebabkan pemerintah akan kehilangan potensi penerimaan negara. Untuk itu penting rasanya bagi pemerintah untuk melakukan inovasi terkait pemungutan pajak yang baru dan lebih aplikatif untuk transaksi digital.
Masalah kekosongan regulasi juga patut menjadi perhatian bersama. Masih ingat jelas rasanya di pikiran kita bahwa di Bulan Maret 2016 lalu telah terjadi aksi unjuk rasa para supir taksi konvensional atas kehadiran taksi online. Banyak yang beranggapan bahwa taksi online merusak tatanan ekonomi yang sudah ada, pun tidak sedikit pula yang merasa diuntungkan dengan kehadiran taksi online. Perdebatan ini tentu dapat disiasati dengan kehadiran sebuah regulasi.
Sejatinya kelembagaan yang baik tentu akan mampu memperlancar perekonomian yang ada. Oleh sebab itu, himbauan bagi pemerintah untuk segera membuat kepastian hukum atas transaksi digital bukan hal yang dapat ditawar kembali agar tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com