Tepat pukul 20.44 Wib, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva membacakan amar putusan MK yang menolak seluruh gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden yang dimohonkan oleh pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, (21/8).
Keluarnya putusan MK ini, menandai berakhirnya proses persengketaan hasil Pemilu 2014 dan menegaskan pasangan Jokowi-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2014-2019.
Hal ini juga yang menandakan berakhirnya drama politik Pemilihan Presiden (Pilpres) yang menyita perhatian seluruh rakyat Indonesia selama berbulan-bulan terakhir. Masyarakat dipertontonkan ketegangan antar elite yang terbelah menjadi koalisi merah putih dan koalisi Jokowi-JK.
Akan tetapi kegigihan Koalisi Merah Putih dalam memperjuangkan pasangan calon Prabowo-Hatta harus berakhir tragis seiring putusan MK yang menolak permohonan mereka. Di sisi yang lain, KPU sebagai pihak termohon dan pasangan Jokowi-JK beserta koalisi pendukung sebagai pihak terkait merasa lega dengan keputusan MK ini.
Kemudian menyikapi putusan MK, koalisi merah putih langsung mendeklarasikan diri menjadi oposisi dari pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun ke depan. Koalisi ini memiliki 353 kursi atau 63 persen kursi DPR. Sedangkan koalisi Jokowi-JK memiliki 207 kursi atau 37 persen kursi DPR. Artinya jika komposisi diatas tetap, maka pemerintahan Jokowi-JK akan menjalankan roda pemerintahan dengan dukungan yang sangat minim di parlemen.
Namun yang menjadi pertanyaan apakah koalisi parpol oposisi akan solid?. Penulis melihat soliditas koalisi parpol oposisi akan sulit bertahan lama di tengah pragmatisme parpol. Seperti yang kita ketahui pragmatisme parpol sendiri merupakan sebuah keniscayaan. Müller dan Strøm mengatakan partai memiliki dua tujuan utama: pertama adalah survival, kedua adalah sukses. Kedua poin tersebut memang bersifat relatif pada tiap partai (1999). Namun hal itulah yang menjadi tujuan dari berdiri dan eksisnya partai politik.
Tanda-tanda melemahnya soliditas tersebut muncul ketika Jokowi mengatakan Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat, dua parpol dari koalisi merah putih kemungkinan akan masuk dalam koalisi Jokowi-JK (19/8). Begitupula dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar.
Penulis melihat beberapa faktor yang menjadi penyebab keraguan soliditas koalisi parpol oposisi. Faktor pertama adanya dinamika internal masing-masing parpol,dimana ada sebagian besar fungsionaris yang menginginkan untuk bergabung dengan koalisi Jokowi-JK dalam pemerintahan.
Kedua, adanya manuver politik jelang suksesi kepemimpinan di masing-masing parpol. Desakan untuk berpindah haluan koalisi menjadi isu dagangan bagi calon ketua umum parpol guna meraih simpati kader dan dukungan pemerintah berkuasa nantinya. Hasil munas maupun muktamar dari parpol ini yang akan menjadi penentu arah dukungan koalisi.
Ketiga, track record dari keempat parpol ini yang selama era reformasi belum pernah berada di luar pemerintahan. Sehingga keempat parpol ini kurang teruji jika diluar lingkaran kekuasaan. Pilihan oposisi memang bukan menjadi pilihan strategis. Jika keempat parpol tersebut beralih haluan, maka hanya akan menyisakan Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang akan berada di partai oposisi.
Arfianto Purbolaksono – Peneliti Yunior Bidang Politik The Indonesian Institute