Pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) benar-benar tertunda pada periode lalu. RUU tersebut tetiba mandeg dengan iming-iming janji akan dibawa ke periode 2019-2024 dengan sistem carry over. Pasalnya, kekhawatiran berbagai pihak memang menemui jawabannya; keputusan tersebut terlihat amat keletihan dengan berbagai tekanan masyarakat yang hadir, baik mendorong maupun menolak rancangan peraturan tersebut.
Dinamika perdebatan mengenai RUU tersebut memang bukanlah isu kemarin. Sejak digalakkan pada tahun 2014, RUU P-KS menukik dalam pusaran opini publik. Banyak perdebatan menampilkan potret yang menjauhkan RUU P-KS dari substansi perlindungan korban. Paling banyak, penolakan terhadap RUU P-KS beranjak dari argumen mengenai kaitan dengan risiko penyimpangan nilai-nilai moral yang dicurigai terdapat pada kandungan RUU tersebut.
Berdasarkan telaah terhadap lima media pemberitaan daring di Indonesia (The Indonesian Institute, 2019), RUU P-KS memang menjadi salah satu topik yang menjadi atensi publik. Semenjak Januari 2019 sampai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode lalu berakhir, sedikitnya terdapat 550 pemberitaan yang menyoroti RUU P-KS. Tingginya jumlah pemberitaan tersebut juga didorong dengan momentum aksi demonstrasi #ReformasiDikorupsi pada tanggal 23-24 September maupun 30 September 2019 lalu.
Pada situasi tersebut, media bergerak menjadi aktor penting. Ruang diskursus publik tercipta begitu masif hingga masing-masing pihak, baik mendukung dan menentang, memiliki kemampuan untuk mempertahankan eksistensi mereka. Media pemberitaan arus utama pun menggambarkan pergolakan tersebut dengan nuansa pemberitaan mereka. Di sisi negatif, misalnya, banyak muatan opini-opini publik yang minim edukasi dan informasi terkait dengan urgensi RUU P-KS namun tetap melenggang pada kolom-kolom berita utama.
Pernyataan tersebut selaras dengan studi oleh Bou Karroum dkk. (2017) yang menyatakan bahwa pengaruh media mampu meninggalkan dampak dalam bentuk mobilisasi lawan atau kontra yang mampu menghambat advokasi pengesahan rancangan peraturan. Pada konteks tulisan ini, RUU P-KS masih tertatih-tatih dalam memapankan dirinya pada tahapan formulasi kebijakan, terutama bagaimana peraturan terus digodok berdasarkan masukan yang relevan. Persoalannya juga terkait dengan gambaran informasi yang dipaparkan media masih berupa informasi faktual; belum sampai pada tataran advokasi media.
Mengapa Giat Media Penting bagi RUU P-KS?
Harus disadari bahwa RUU P-KS tak terlepas dari rencana kebijakan yang mengedepankan inklusivitas, terutama gender. Pada studi kebijakan publik, gender dan media, peran media dapat membentuk, mereproduksi maupun mengubah norma-norma di masyarakat sehingga berdampak terhadap keadilan gender. Namun, penolakan terhadap rencana kebijakan yang diusung menggambarkan kegagapan atau ketidaksiapan masyarakat untuk mengadopsi RUU tersebut, baik disebabkan tidak sampainya pesan secara sempurna maupun penggunaan landasan yang tidak berbasis data.
Hal tersebut juga disampaikan oleh Padovani (2014) bahwa aspek penting dalam pengembangan kebijakan yang sadar gender harus memperhitungkan strategi komunikasi dengan perspektif gender, pengggunaan riset isu gender dan media maupun pemetaan jaringan ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai landasan pengembangan kebijakan terkait gender.
Aspek-aspek di atas nyatanya belum banyak ditemukan urgensinya oleh sebagian besar media berita daring. Sebab, pada dasarnya mereka lebih banyak menginformasikan isu atau peristiwa tanpa menelaahnya lebih lanjut. Banyak berita memang tergolong berita aktual yang masuk dalam kategori nasional dan bertujuan untuk menyampaikan suatu isu atau peristiwa kepada publik secara luas dan cepat, terutama terkait isu pro-kontra terhadap pengesahan RUU P-KS. Sementara, berita-berita yang meliput dengan tujuan edukasi maupun menggugah pembaca belum banyak dilakukan.
Uraian analisis di atas menyimpulkan bahwa RUU P-KS hadir sebagai isu yang naik ke permukaan dan media mampu mendorong isu tersebut sampai pada bentuk diskursus publik. Namun, untuk sampai pada reformasi kebijakan dalam bentuk adopsi RUU tersebut ke dalam kebijakan, media dan berbagai pemangku kepentingan lainnya harus bergegas dan berkolaborasi untuk mengembangkan strategi yang lebih tepat, terutama penggunaan hasil riset yang relevan, pengemasan berita berdasarkan pengalaman korban kekerasan seksual dan melalui rencana advokasi media yang jelas. Strategi tersebut tidak lain agar suara desakan RUU P-KS dapat benar-benar ditangkap oleh pembuat kebijakan terkait.
Nopitri Wahyuni, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, nopitri@theindonesianinstitute.com