Tangani Politik Uang, Jaksa Intelijen Disiapkan
Jakarta. Mahar politik yang terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 akan merusak proses demokrasi. Karenanya, pilkada serentak harus menerapkan tindakan antikorupsi.
Di sisi lain, menjelang proses Pilkada Serentak 2018, Kejaksaan Agung juga menyiapkan jaksa intelijen untuk memantau praktik politik uang. Pemantauan tersebut tersebar di seluruh daerah.
“Proses pilkada ini adalah proses demokrasi. Ini harus dijalankan dengan integritas dan antikorupsi. Kalau kemudian dalam proses ada mahar politik atau politik uang, akan mencederai proses demokrasi itu sendiri,” kata Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (12/1).
Febri menyatakan, komisi ini sudah menangani 29 kasus korupsi yang melibatkan 78 orang kepala daerah. karenanya, KPK berharap pilkada serentak jauh dari korupsi.
“Ini risiko buruk ke depan. Kalau biaya politik masih mahal tentu saja kepala daerah akan berisiko melakukan korupsi kembali. Kami sudah cukup banyak menangani kasus kepala daerah,” katanya.
“Kita berharap kalau pilkada dijalankan benar akan minimalisir korupsi nantinya,” tambahnya.
Terkait mahar politik dalam Pilkada Serentak 2018, Febri menyatakan, KPK mempunyai kewenangan apabila mahar politik yang diberikan dari seorang pejabat penyelenggara negara. “Tindakan KPK tentu sesuai kewenangan subjeknya, yaitu penyelenggara atau bukan,” ucapnya.
Sementara, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menepis isu yang menyebut Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto meminta mahar politik. Dinyatakannya, sewaktu Pilkada DKI Jakarta 2017, yang ada bukan mahar politik, melainkan iuran.
“Bahkan kalau bisa dibilang, ya semuanya kemarin itu (Pilkada DKI) iuran, sehingga terjadi gerakan. Semuanya terlibat,” katanya di Balai Kota Jakarta, Jumat (12/1).
Anies sendiri menyadari keikutsertaannya dalam Pilkada DKI Jakarta memerlukan biaya. Namun itu bukan mahar politik. “Jadi bahwa proses politik memerlukan biaya itu benar. Tapi bahwa calon harus (membayar mahar politik), kami harus membayar itu tidak ada,” tegasnya.
Isu Prabowo meminta mahar politik muncul dari mantan Ketua Umum Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang juga kader Gerindra, La Nyalla Mattalitti, Kamis (11/1). Dia menyebut Prabowo meminta uang untuk Pilgub Jawa Timur.
Pernyataan La Nyalla ini dibantah oleh Gerindra. Persoalan ini disebut hanya dipicu masalah komunikasi.
Butuh terobosan
Pengamat politik The Indonesian Institute, Arfianto Purbolaksono, mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu membuat terobosan untuk menjawab pernyataan kader Gerindra La Nyalla Mattalitti soal keperluan dana saksi Pilkada sebesar Rp40 miliar.
“Menurut saya melihat pernyataan La Nyalla terkait dana saksi tersebut, bukanlah sesuatu yang baru. Diperlukan terobosan oleh KPU yaitu dengan mendorong parpol dan calon kepala daerah untuk menginformasikan kepada publik terkait asal dana kampanye, hingga penggunaanya untuk apa saja,” katanya di Jakarta, kemarin.
Arfianto mengatakan, sesungguhnya pernyataan La Nyalla Mataliti telah menjadi rahasia umum bahwa dalam proses pencalonan konstestasi politik saat ini, khususnya pilkada, memerlukan uang. Baik untuk kebutuhan kampanye hingga dana saksi.
Namun, menurutnya, terpenting adalah penggunaan uang oleh partai politik dan calon kepala daerah harus dilaporkan dan diinformasikan kepada publik. Tujuannya, mewujudkan transparansi dan akuntabilitas parpol dan calon kepada publik.
“Sehingga, parpol pendukung dan calon kepala daerah tidak hanya mengumbar janji, tapi juga dipaksa untuk menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pilkada serentak ini,” jelasnya.
Dia menilai parpol dan calon kepala daerah dapat menginformasikan aliran dana melalui situs internet, baliho, dan lain sebagainya. Ini dapat dilakukan sejak ditetapkan oleh KPUD sebagai pasangan calon peserta pilkada, hingga selesainya penyelenggaraan pilkada.
“Maka, dibutuhkan terobosan dari KPU soal transparansi dana ini. Tujuannya untuk mencegah maraknya praktik politik uang dalam kampanye maupun menjelang pencoblosan. Hal ini menjadi penting demi menciptakan pemilu yang jujur, adil, dan berintegritas,” pungkasnya.
Tangani politik uang
Terpisah, Jaksa Agung HM Prasetyo di kantornya, Jakarta, Jumat (12/1) menyatakan, pihaknya sudah menyiapkan jaksa intelijen untuk menangani politik uang dalam Pilkada Serentak 2018.
“Jaksa intelijen juga kita siapkan. Di samping kita bergabung dengan Sentra Gakkumdu kita juga mempersiapkan jaringan jaksa intelijen kita. Di setiap daerah itu ada forum intelijen daerah mereka akan kerja sama di sana,” katanya.
“Intinya sama: bagaimana supaya dalam pilkada, pemilihan legislatif, pemilihan pilpres terpilih pimpinan daerah yang baik dan amanah yang terbebas dari berbagai macam bentuk pelanggaran, termasuk politik uang,” sambungnya.
Prasetyo mengatakan, Kejagung tergabung dalam Sentra Gakkumdu bersama Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Mabes Polri di tingkat pusat. Sedangkan di tingkat daerah, kejaksaan bekerja sama dengan Panwaslu dan kepolisian dalam satu atap.
Tujuannya untuk memproses laporan dugaan kecurangan selama Pilkada. Nantinya penyidik berasal dari Polri, sementara jaksa penuntut umum (JPU) berasal dari kejaksaan dalam Sentra Gakkumdu.
“Itu rangkaiannya sama saja, tetapi waktunya dibatasi. Untuk perkara pemilihan waktunya paling lama 51 hari harus selesai. Tidak boleh lebih dari itu dan hanya sampai banding, tidak ada kasasi,” terangnya.
Kejagung sendiri telah membuat posko khusus untuk mendeteksi kemungkinan politik uang untuk pilkada serentak. Posko tersebut akan membuat perkiraan di daerah-daerah yang rawan politik uang.
Sumber: Hariananalisa.