Ketika Rumah Sakit Melanggar Hak Asasi Anak

lola-ameliaPertengahan bulan Pebruari ini, kita kembali dikagetkan oleh peristiwa penolakan pasien oleh rumah sakit hingga menyebabkan kematian. Korban kali ini adalah Dera bayi kembar yang lahir pada 10 Pebruari 2013 lalu. Dera yang lahir prematur dan hanya berbobot 1 kilogram, mengalami komplikasi sulit pernafasan. Oleh karena itu, orang tuanya membawa ke rumah sakit untuk pertolongan lebih lanjut.

Namun, delapan rumah sakit di Jakarta menolak merawat Dera dengan alasan ruangan yang penuh dan atau alat khusus yang dibutuhkan untuk Dera berupa ventilator/resperator tidak tersedia. Keterlambatan mendapatkan perawatan tersebutlah, Dera, satu dari kembar Dera dan Dara akhirnya meninggal.

Peristiwa ini menimbulkan keprihatinan bukan hanya kepada bayi Dera yang meninggal, juga keprihatinan kepada sistem kesehatan itu sendiri dan kepada penelantaran hak-hak anak.

Sistem kesehatan di sini dalam lingkup kelembagaan rumah sakit itu sendiri dan jaminan kesehatan masyarakat. Terlepas dari tidak adanya alat atau ruangan, prinsip mendahulukan keselamatan pasien harus diutamakan. Artinya, meski tidak memiliki alat yang memadai atau ruangan, pihak rumah sakit yang dilengkapi dengan ruangan gawat darurat yang memang dipersiapkan untuk memberikan pertolongan pertama, harusnya tanggap memberikan bantuan pendahuluan sebelum kemudian “mengoper” ke rumah sakit lain atau memaparkan ketiadaan alat atau ruang.
Dalam kaitan jaminan kesehatan masyarakat, bukan hanya pada kasus Dera, pada beberapa kasus lain dimana pasien ditolak di rumah sakit tertentu, adalah karena pasien tidak memiliki uang administrasi sejumlah tertentu yang disyaratkan rumah sakit dan atau karena pasien tidak memiliki asuransi atau jaminan kesehatan masyarakat.

Peristiwa-peristiwa penolakan pasien yang berlangsung akhir-akhir ini di Jakarta kemudian juga menimbulkan kritik kepada Pemerintah Provinsi DKI karena mereka menjanjikan adanya Kartu Sehat yang nota bene adalah bukti bahwa masyarakat dilindungi di dalam sistem jaminan kesehatan masyarakat.

Jika ditelisik lebih jauh, memang rumah sakit-rumah sakit yang menolak, belum bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI untuk program Kartu Sehat. Hal ini karena memang masih terbatas di beberapa rumah sakit saja dan keterlambatan pencairan APBD juga ditenggarai menjadi salah satu penyebab terlambatnya Kartu Sehat ini berlaku di seluruh rumah sakit.

Kemudian, terkait konsep-konsep perlindungan anak, ada juga pelanggaran-pelanggaran dan bertentangan dengan aturan di dalam Peraturan Perundangan yang mengatur ini. Jika mengacu pada UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kasus penelantaran anak terutama dalam hal pelayanan kesehatan ini, bertentangan dengan Pasal 8 UU ini yang berbunyi, “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial”.

Selain itu, juga melanggar pasal-pasal khusus yang mengatur tentang penyelenggaraan perlindungan khususnya terkait Kesehatan yaitu di Pasal 44 ayat 1-5, Pasal 45 ayat 1-3 dan Pasal 46.

Terkait hak atas perlindungan terhadap kesehatan anak, selain diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 di atas, juga diatur dalam Konvensi Perlindungan Hak Anak yang sudah diratifikasi Indonesia; UU No. 36 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia dan beberapa peraturan perundangan lainnya di tingkat Peraturan Presiden maupun di tingkat Peraturan Menteri.

Terlihat bahwa, anak harus dilihat sebagai manusia utuh yang terlahir dengan berbagai hak melekat pada dirinya dan orang tua atau wali dan juga penyelenggara negara wajib memberikan perlindungan atas terpenuhinya hak-hak tersebut. Apalagi ketika perlindungan tersebut sudah dinyatakan ke dalam peratuan hukum negara yang mengikat pihak-pihak terkait dan disertai sanksi.

Artinya, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip perlindungan hak anak terjadi sama artinya sebagai tindakan melanggar hukum dan hak asasi anak itu sendiri.

Komentar