Kerentanan Berlapis IRT dengan HIV/AIDS

Hari AIDS Sedunia selalu diperingati pada tanggal 1 Desember setiap tahunnya. Harapan diperingatinya Hari AIDS Sedunia adalah supaya kita sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar memiliki kesadaran untuk berusaha menghindar dari penyakit yang mematikan ini. Selain itu juga agar menunjukkan kepedulian kepada para penderita HIV/AIDS, karena sejatinya mereka adalah bagian dari kita juga. Terlebih, tidak semua penderita adalah pelaku.

Banyak juga di antara para penderita HIV/AIDS yang hanya menjadi korban, tetapi diharuskan memikul banyak beban. Seperti anak-anak yang tertular dari orang tuanya sewaktu dalam kandungan, ibu-ibu rumah tangga baik-baik yang tertular dari suaminya, atau pun yang tertular melalui tranfusi darah.

Terkait hal ini, menarik jika kita melihat data statistik jumlah dan kelompok penderita HIV/AIDS di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan per September 2014 jumlah penderita HIV/AIDS kumulatif di Indonesia sebanyak 206.096 orang. Jika dilihat lebih jauh, berdasarkan laporan provinsi, DKI Jakarta adalah yang terbanyak yaitu sebesar 32.782 kasus, dan diikuti oleh Jawa Timur, Papua dan Jawa Barat.

Bagian data statistik lain yang perlu dicermati adalah bahwa Ibu rumah tangga menempati urutan terbesar orang dengan HIV-AIDS, menurut kelompok mata pencahariannya, sebanyak 9.096. Sementara urutan kedua yaitu karyawan 8.287, sementara yang tidak diketahui profesinya mencapai 21.434 orang. Angka itu terungkap dalam laporan data kumulatif HIV-AIDS sepanjang tahun 1987 sampai dengan September 2015.

Tingginya angka paparan terhadap ibu rumah tangga ini mengindikasikan banyaknya pasangan laki-laki yang kemudian menjadi penular HIV/AIDS. Hal ini terkonfirmasi dengan data Kemenkes menyebutkan bahwa sekitar 4,9 juta dari ibu rumah tangga menikah dengan pria berisiko tinggi terkena HIV/AIDS dan sebanyak 6,7 juta pria di Indonesia merupakan ‘pembeli’ seks.

Jika dilihat dari sisi sosial perempuan harus mengemban tugas rangkap, selain sibuk di ranah domestik dengan berbagai kegiatan mengurus rumah tangga, hingga tak sedikit juga perempuan yang harus bekerja untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga atau pun menjadi penopang utama kehidupan ekonomi keluarga. Maka waktu untuk bisa memeriksakan kesehatan mereka menjadi susah. Dan sering kali baru memeriksakan diri setelah sangat terlambat, ketika sudah dalam kondisi sakit dan sudah pada fase AIDS.

Demikian juga terkait akses informasi, ketika ada sosialisasi HIV/AIDS kerap kali yang diprioritaskan mendapatkan informasinya hanya kaum pria. Menyikapi hal ini perempuan diharapkan lebih waspada, sadar, serta berhak mendaptkan informasi kesehatan secara seimbang. Perempuan juga harus sensitif membaca keadaan lingkungan termasuk perilaku suami mereka di luar.

Angka ini menunjukkan pada kita bahwa mitos selama ini yang menyatakan bahwa orang yang bekerja di luar rumahlah yang paling banyak terkena HIV/AIDS, runtuh. Hal ini semakin menunjukkan bahwa penularan HIV/AIDS saat ini tidak lagi menular di luar rumah, namun terjadi di dalam rumah.

Penularan HIV/AIDS dengan jumlah yang cukup besar di Indonesia saat ini ternyata terjadi di dalam rumah. Ibu rumah tangga yang terpapar HIV/AIDS ini selain ditulari, harus menanggung pula diskriminasi karena mereka sering dicap sebagai perempuan nakal, walau mereka dalam posisi sebagai korban.

Pada titik ini kemudian, kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang massif dilakukan tiap tahun selama 16 hari sejak tanggal 25 November hingga 5 Desember, perlu menyasar juga kelompok Ibu rumah tangga yang terpapar HIV/AIDS ini. Mereka berhak untuk tetap bisa menjalani kehidupan sosial dengan layak, berhak untuk mempunyai kesempatan bekerja di ranah publik dan sambil tetap mendapatkan penanganan yang pas dan tepat bagi penyakit mereka.

Lola Amelia, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, lola@theindonesianinstitute.com

Komentar