Setiap tanggal 1 Desember selalu diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia, semenjak tahun 1988. Peringatan setiap tahunnya ini bertujuan untuk mengingatkan semua pihak, pemerintah maupun masyarakat bahwa HIV/AIDS belum punah.
Bahkan, untuk konteks Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, pada 2012 ditemukan kasus HIV sebanyak 21.511 orang dan AIDS sebanyak 5.686 orang. Berdasarkan presentase kasus AIDS menurut faktor risiko pada 1987 hingga Desember 2013, secara kumulatif, faktor risiko penularan HIV terbanyak pada heteroseksual (58,7 persen); Injecting drug users (IDU) sebanyak 17,5 persen; penularan perinatal 2,7 persen dan homoseksual sebanyak 2,3 persen.
Presentase kasus berdasarkan faktor resiko di atas menunjukkan bahwa, pertama, siapa saja berisiko terkena HIV/AIDS. Kedua, mematahkan anggapan, bahwa HIV/AIDS hanya rentan kepada para pekerja seks, kaum homoseksual atau pengguna narkoba suntik saja.
Artinya, data di atas mengindikasikan adanya perubahan pola penyebaran HIV/AIDS ini, dari kelompok berisiko tinggi ke masyarakat umum. Dari kelompok masyarakat umum ini, Ibu-ibu rumah tangga (IRT) memiliki proporsi cukup besar terjangkit HIV/AIDS ini.
Bahkan di beberapa daerah kasus HIV/AIDS didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga. Misalnya di Kabupaten Jayapura, Papua dimana per tahun 2011 lalu, 58,8 persen penderita HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga. Sedang untuk DKI Jakarta, walaupun tidak mendominasi namun jumlah IRT yang terkena HIV/AIDS cukup tinggi, yaitu sekitar 12 persen dari total kasus.
Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) yang dilakukan Kemenkes pada 2012 lalu, memperlihatkan bahwa pada kurun waktu 2007-2011, bahwa 81,8 persen penularan HIV/AIDS melalui transmisi seksual. Dari jumlah tersebut 72,4 persennya dialami oleh pelaku heteroseksual, yang tertular melalui seks berisiko.
Pengertian seks berisiko adalah hubungan seks yang berisiko terjadinya penularan penyakit. Pertanyaannya kemudian adalah dari mana IRT ini tertular HIV/AIDS?
Merujuk kembali pada survei STBP di atas, angka penularan HIV/AIDS di kalangan pria potensial berisiko tinggi-maksudnya pria yang suka ‘membeli’ pelayanan seks, meningkat tujuh kali lipat. Hubungannya kemudian dengan IRT adalah, bahwa sekitar 70% dari pria potensial berisiko tinggi ini berstatus suami, menikah. Mereka menempatkan perempuan atau sang istri pada posisi rawan tertular juga.
Dengan kata lain, pria potensial berisiko tinggi HIV/AIDS inilah yang menjadi jembatan penularan HIV/AIDS dari populasi berisiko tinggi ke masyarakat umum, seperti ke IRT. Lebih memprihatinkan lagi adalah jika IRT ini memiliki anak. Data Kemenkes per 2011 menunjukkan bahwa data anak berumur kurang dari 14 tahun yang terkena virus HIV/AIDS juga tidak sedikit, dimana ditemukan sebanyak 150 kasus.
Jika kita lihat dengan perspektif feminis, fenomena maraknya IRT terkena virus HIV/AIDS ini merupakan hasil dari multi lapis kerentanan perempuan tersebut. Maksudnya, perempuan- dalam hal ini IRT yang terkena virus HIV/AIDS tersebut tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan (public sphere) dan juga di ranah domestik-khususnya bagaimana dia berelasi dengan pasangannya (private sphere).
Di sisi lain, di tengah kerentanan IRT yang berlapis tersebut, mereka juga adalah agen atau pihak paling potensial untuk memutus mata ratai penularan virus HIV/AIDS ini. Namun, memang mensyaratkan banyak hal untuk ini, dan tidak bisa dalam jangka waktu pendek. Syarat pertamanya adalah bahwa IRT tersebut harus menyadari bahwa ada konstruksi sosial yang membuat ketidaksetaraan gender antara mereka dengan suami mereka, dianggap lumrah. Mereka juga harus menyadari bahwa IRT memiliki kedudukan yang sama di ranah publik maupun privat dengan laki-laki.
Dengan hal inilah kemudian mereka dapat bernegosiasi secara setara dengan laki-laki/suami mereka atas berbagai hal, termasuk juga di ranah kehidupan seksual mereka. Artinya, mereka bisa menuntut keterbukaan suami akan kehidupan seksualnya yang lain dan kemudian mengambil strategi atasnya. ‘Menerima’ dengan syarat melakukan hubungan seksual aman (dengan penggunaan kondom) atau jika tidak mencari strategi lain, misalnya perceraian.
Syarat kedua, bukan dari IRTnya sendiri tetapi dari pemerintah, yang mempunyai wewenang membuat berbagai kebijakan. Kebijakan yang seharusnya dibuat pemerintah untuk mengurangi fenomena IRT/anak terkena virus HIV/AIDS ini adalah kebijakan yang komprehensif mulai dari preventif hingga kuratif-jangka pendek untuk pengobatan semata.
Untuk preventif terkena virus HIV/AIDS ini sudah banyak program yang dilakukan Kemenkes, mulai dari penyuluhan, pelatihan ke IRT yang rentan ini hingga ke program pembagian kondom gratis yang menuai kontroversi saat ini. Menarik pelajaran dari kontroversi kampanye atau pembagian kondom gratis sangat penting agar tindakan yang diambil memang terukur dan diterima oleh semua pihak, bukan hanya oleh kelompok sasaran Kemenkes saja dalam hal ini kelompok rentan terkena virus HIV/AIDS ini, tetapi hendaklah juga ke seluruh lapisan masyarakat. Catatan lain terkait kampanye adalah cara penyampaian dan komunikasinya kepada publik agar pesan terkait prevensi ini diterima dengan baik.
Hal penting lain yang harus menjadi dasar atau prinsip dalam penyusunan setiap kebijakan terkait penanggulangan HIV/AIDS ini umumnya dan pencegahan atau pengobatan pada IRT/anak yang terkena virus HIV/AIDS khususnya adalah, sejauh mungkin Kemenkes juga melakukan pendidikan publik agar semua stigma dan diskriminasi terhadap para penderita HIV/AIDS terkikis.
Hanya dengan hal inilah semua lapisan masyarakat bisa berpikir terbuka dan secara bersama-sama membantu penanggulangan HIV/AIDS ini, minimal di lingkungan sekitar mereka masing-masing.
Lola Amelia, Peneliti Bidang Kebijakan Sosial dan Gender The Indonesian Institute. ameliaislola@gmail.com