Jelang peringatan 76 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, jagat dunia maya dihebohkan dengan pro-kontra ucapan selamat Hari Raya Naw Ruz 178 EB bagi penganut Agama Baha’i yang disampaikan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas pada tanggal 26 Maret yang lalu (kbr.id, 5/8).
Banyak pihak menilai yang menilai hal ini tidak tepat dilakukan oleh Menteri Agama sebagai representasi negara, karena Baha’i dianggap bukan agama resmi di Indonesia. Di sisi lain, banyak juga pihak yang mendukung tindakan yang dilakukan oleh Menteri Agama sebagai bentuk toleransi umat beragama di Indonesia. Pro-kontra ini tentunya menjadi alarm bagi jaminan kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan di Indonesia. Padahal sejatinya, kebebasan beragama itu sendiri telah dijamin oleh konstitusi.
Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selanjutnya, di Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Lebih jauh, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Berdasarkan UUD 1945, maka sebenarnya tidak ada aturan yang membagi antara resmi maupun tidak resmi di Indonesia. Semua agama dan kepercayaan dijamin kebebasannya untuk dipeluk oleh warga negara Indonesia. Batasannya adalah kebebasan dalam menjalankan agama dan kepercayaan tersebut tidak bertentangan dengan kebebasan orang lain, seperti yang tercantum dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain.
Bahkan di dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1/PnPs/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama disebutkan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia, karena 6 agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia. Dalam penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa enam agama tersebut adalah agama yang eksis diakui negara berdasarkan jumlah pemeluk agamanya. Namun, bukan berarti pengakuan terhadap enam agama ini menegasikan agama dan kepercayaan yang lebih minoritas dipeluk warga negara Indonesia.
Karena pada lanjutan dalam penjelasan Pasal 1 undang-undang tersebut disebutkan bahwa ketentuan tersebut tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan mereka dibiarkan adanya, selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.
Oleh karena itu, memasuki 76 tahun usia Kemerdekaan Republik Indonesia, seharusnya menjadi momentum agar kebebasan beragama dan kepercayaan dijamin dan ditegakkan. Jaminan terhadap kebebasan beragama bukan lagi sekedar retorika belaka. Negara seharusnya dapat memberikan jaminan kepada semua agama dan kepercayaan yang ada sesuai konstitusi.
Jaminan kebebasan tersebut yaitu: pertama, memberikan rasa aman bagi minoritas pemeluk agama dan kepercayaan dalam menjalankan peribadatannya. Kedua, memberikan pelayan publik tanpa adanya diskriminasi terhadap pemeluk agama dan kepercayaan. Ketiga, memperkuat kurikulum pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai penghargaan terhadap keragaman budaya, etnis, suku, dan agama. Keempat, penegakan hukum yang tegas bagi kelompok maupun individu yang melakukan tindakan intoleransi, termasuk menyebarkan ujaran kebencian terhadap pemeluk agama dan kepercayaan di Indonesia.
Arfianto Purbolaksono – Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute arfianto@theindonesianinstitute.com