Berbagai kabar mengenai kasus kekerasan seksual yang akhir-akhir ini beredar sungguh menyayat hati. Kekerasan seksual bahkan juga terjadi di tempat ibadah dan kantor polisi, yang seharusnya menjadi ruang aman untuk masyarakat. Dari semua kabar yang beredar bulan ini, semua korban adalah perempuan, baik itu dewasa dan anak-anak. Secara keseluruhan, perempuan dan anak menjadi kelompok paling rentan terhadap tindak kekerasan seksual.
Sungguh, dimanakah ruang yang aman bagi perempuan dan anak? Sampai kapan tindak kekerasan seksual akan terus terjadi? Tidak bisakah perempuan, anak, dan semua orang aman dari tindakan-tindakan tersebut?
Setiap orang, khususnya perempuan dan anak membutuhkan perlindungan dari negara. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seharusnya menyegerakan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Tidak adanya payung hukum yang komprehensif dalam pencegahan, penanganan dan pemulihan korban tindak kekerasan seksual menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah belum menganggap masalah ini sebagai permasalahan yang serius.
RUU PKS telah diusulkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sejak tahun 2012. Dari tahun tersebut, baru pada masa jabatan DPR periode 2014 hingga 2019, RUU tersebut masuk dalam Pogram Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2020, RUU tersebut dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas dengan alasan adanya pro kontra dan pembahasan yang sulit mengenai RUU tersebut.
Terkait pro kontra dalam RUU tersebut, DPR seharusnya berupaya untuk mendudukkan secara bersama-sama antara pihak yang pro dan kontra, bukannya malah menghindari pembahasan dengan mengeluarkannya dari Prolegnas Priroritas pada tahun lalu. DPR harus mengadirkan ahli bahasa, pakar gender dan pakar hukum untuk menengahi proses diskusi antara pihak tersebut.
Urgensi dari RUU PKS seharusnya tidak menjadikan DPR terus menunda pembahasan RUU tersebut. Jika kita berkaca pada pembahasan UU Cipta Kerja, UU tersebut dapat disahkan dengan cepat meski berbagai pihak menentangnya. Jika DPR menganggap bahwa RUU PKS ini merupakan sesuatu yang mendesak dan menjawab kebutuhan rakyat, mereka dapat segera mengundangkannya sesegera mungkin. DPR dan pemerintah harus fokus pada tujuan utama dari RUU tersebut, yakni untuk memayungi proses pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Tahun 2021, RUU PKS kembali masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas. Namun, hingga pertengahan tahun ini, RUU tersebut belum masuk pada tahap pembahasan di Badan Legislasi (Baleg). Progres RUU PKS yang terakhir, yakni RUU tersebut masih berada di tahap penyusunan. Hingga saat ini, belum ada penetapan pengesahan dalam Rapat Paripurna, sehingga pembahasan RUU tersebut secara resmi belum juga terlaksana. Oleh karena itu, kita harus terus mendorong agar DPR segera megundangkan RUU tersebut.
Berdasar pernyataan anggota Baleg, Ledia Hanifa Amalia (Antaranews.com, 23/06/2021), naskah akademik dan draf RUU PKS saat ini masih dalam tahap penyusunan dan pengumpulan masukan. Kedepannya, saat draf dan naskah akademik tersebut telah tersedia, kita harus memastikan apakah di dalamnya tercakup proses pecegahan kekerasan seksual, definisi dan jenis pidana, hukum acara pidana, ketentuan pidana, serta pemantauan dan pemulihan korban. Keenam hal tersebut yang menjadikan RUU PKS penting untuk segera disahkan. Jika DPR tidak memasukkan keenam hal tersebut dalam draf, maka fungsi dari UU tersebut yang ditujukan untuk mencegah, menangani dan melindungi korban harus kita pertanyakan.
Terakhir, kita harus terus memantau dan mendorong DPR untuk mempercepat pembahasan RUU PKS, agar RUU tersebut segera dibahas secara resmi di proses legislasi nasional, mengingat gentingnya keadaan kekerasan seksual di negeri ini. Jangan sampai pengesahan RUU PKS ditunda kembali, sementara semakin banyak kasus kekerasan seksual dan korban yang berjatuhan. RUU PKS harus segera diundangkan karena setiap orang butuh rasa aman, termasuk dari tindakan kekerasan seksual.
Nisaaul Muthiah
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
nisaaul@theindonesianinstitute.com