Akar Kekerasan Terhadap Perempuan

Sangat disayangkan bahwa masalah kekerasan terhadap perempuan masih mengakar di masyarakat sejak puluhan tahun lalu. Kekerasan dapat terjadi pada siapapun, di manapun, dan kapan pun. Namun, korban kekerasan selama ini lebih banyak bergender perempuan. Dalam Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA, 26/07/2022) tercatat bahwa dari awal tahun 2022 hingga akhir bulan Juli 2022, terdapat 13.069 kasus kekerasan. Dari total kasus tersebut, 12.084 korban diantaranya adalah perempuan.

Kasus kekerasan terhadap perempuan seakan tidak ada habisnya. Dalam satu tahun terakhir saja, kabar mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan tidak pernah absen dari pemberitaan media. Beberapa kasus yang proses hukumnya masih berjalan adalah kekerasan seksual yang terjadi di Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) dan Pondok Pesantren (Ponpes) Shiddiqiyah.

Kedua kasus tersebut memiliki beberapa persamaan. Pertama, tindak kekerasan terjadi di lingkungan pendidikan. Kedua, terdakwa pelaku kekerasan adalah guru/ pengurus lembaga. Ketiga, korban tindak kekerasan adalah siswi-siswi yang menuntut ilmu di lembaga tersebut. Beberapa persamaan tersebut juga tercermin dalam kasus kekerasan seksual yang dialami santri Pondok Pesantren Madani yang terungkap akhir tahun 2021 lalu.

Menurut Hunnicutt (2009), kekerasan terhadap perempuan adalah produk dari tatanan dan ideologi sosial patriarki yang ditopang dan diperkuat oleh berbagai sistem dalam masyarakat. Patriarki dapat didefinisikan sebagai sistem/ tatanan sosial yang mengistimewakan laki-laki. Dalam sistem tersebut, laki-laki mendominasi perempuan, baik secara struktural maupun ideologis.  Sistem patriarki terdapat di tingkat makro (birokrasi, pemerintah, hukum, pasar, agama) dan mikro (interaksi, keluarga, organisasi, perilaku antar manusia).

Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan baru-baru ini menunjukkan masih mengakarnya budaya patriarki di masyarakat, termasuk dalam sistem pendidikan. Kekerasan terjadi akibat adanya abuse of organizational power karena adanya perbedaan kekuasaan/ kekuatan antara pelaku dan korban. Terdakwa pelaku kekerasan seksual di Sekolah SPI, Ponpes Shiddiqiyah, dan juga Ponpes Madani adalah guru/ pengurus lembaga pendidikan. Sementara,  korbannya adalah siswa-siswa perempuan.

Guru atau pengurus lembaga pendidikan yang menjadi terdakwa pelaku kekerasan merasa memiliki kekuasaan atas para siswi, sehingga mereka melecehkan siswa perempuan yang mereka anggap lemah dan dapat dimanipulasi. Perempuan dalam masyarakat masih dianggap sebagai gender kedua (the second sex), sementara saat ia masuk dalam sistem pendidikan, ia juga dianggap sebagai subyek yang lemah dan rawan mendapat perlakuan diskriminatif.

Studi Lee et al. (1996) menyebutkan beberapa faktor yang berasosiasi kuat dengan potensi siswa mengalami pelecehan seksual, diantaranya yakni gender siswa dan budaya sekolah. Siswa perempuan lebih rawan mendapat pelecehan seksual. Bayangkan, hanya karena menjadi seorang perempuan, seseorang harus menanggung rasa takut pada besarnya potensi tindakan diskriminatif yang dapat diterimanya. Oleh karena itu, masyarakat, termasuk lembaga pendidikan harus dapat menciptakan sistem yang aman, agar semua orang, khususnya perempuan,  terbebas dari kekerasan dan perilaku diskriminatif lainnya.

Berdasarkan penuturan korban di Sekolah SPI, mereka pernah mengadukan kejadian yang mereka alami pada pihak yayasan, tetapi tidak ditanggapi (kompas.id, 25/07/2022). Sementara di Ponpes Shiddiqiyah, proses penyidikan tersangka sempat mengalami hambatan karena banyaknya simpatisan yang berusaha melindungi tersangka (portalyogya.com, 10/07/2022). Korban kekerasan di ponpes tersebut juga sudah melapor pada polisi sejak tahun 2018. Namun karena dianggap kurang bukti, tersangka baru ditahan pada bulan Juli 2022.

Kondisi di atas menunjukkan adanya tantangan budaya penegakan aturan terkait kekerasan seksual di masyarakat, termasuk di lembaga pendidikan. Lambatnya penegakan aturan mencerminkan pemahaman suatu kelompok masyarakat yang masih patriarkis dan tidak mengutamakan kepentingan korban. Eksisnya ideologi patriarki dalam masyarakat menjadi salah satu penghambat dalam melakukan pencegahan terhadap tindak kekerasan terhadap perempuan.

Dibutuhkan peran semua pihak untuk perlahan-lahan mencabut pandangan patriarki yang masih mengakar dalam masyarakat. Masyarakat sipil yang sadar gender, media, akademisi, sektor privat, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Agama, dan pemangku kepentingan lain terkait perlu bersama-sama menegakkan aturan yang sudah ada terkait pencegahan dan penanganan tindak kekerasan. Proses-proses sosialisasi dan edukasi juga harus terus dilakukan agar pemahaman akan kesetaraan gender semakin meluas di masyarakat.

 

Nisaaul Muthiah

Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)

nisaaul@theindonesianinstitute.com

Komentar