Kawasan Ekonomi Khusus Menuju Pertumbuhan Ekonomi 8%

Presiden Prabowo Subianto (Prabowo) menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di level 8 persen selama dirinya menjabat. Dalam acara Musyawarah Nasional Konsolidasi Persatuan Kadin Indonesia, dilansir dalam presidenri.go.id (16 Januari 2025), Presiden Prabowo optimis bahwa Indonesia dapat mencapai angka pertumbuhan tersebut dan mungkin bahkan melebihi target. Dalam situs resminya, dirinya pun menyebut beberapa faktor penting yang dapat mendukung tercapainya angka pertumbuhan ekonomi tersebut, seperti pengelolaan ekonomi yang efektif, efisien, berbasis logika, serta perhitungan yang akurat.

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani pun lebih dalam menjelaskan ’resep rahasia’ pertumbuhan ekonomi 8 persen itu. Dalam finance.detik.com (30 Januari 2025), Bendahara Negara menyampaikan bahwa kebijakan struktural dan transformasi ekonomi sangat penting untuk dilakukan. Misalnya, dari sisi kebijakan struktural adalah peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya manusia (SDM) dengan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan yang notabene termasuk gizi, perbaikan kualitas institusi dan birokrasi, aturan yang lebih disimplifikasi, termasuk meningkatkan nilai tambah yang lebih baik, lebih tinggi, lebih efisien, dan lebih kompetitif dari sisi hilirisasi. Hal lain yang diutarakan Menkeu adalah pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan melalui instrumen-instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta pemberdayaan dan peningkatan daya saing Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sampai di tingkat desa.

Pemenang Penghargaan Sveriges Riksbank dalam Ilmu Ekonomi untuk Mengenang Alfred Nobel tahun 2018, Paul Romer, pun menjelaskan bahwa Indonesia dapat meniru langkah yang dilakukan oleh Tiongkok. Dalam cnbcindonesia.com (30 Januari 2025), mantan Kepala Ekonom Bank Dunia ini mengutarakan bahwa keberhasilan Tiongkok dalam ekonomi adalah salah satunya dengan menciptakan beberapa kota yang menjadi Zona Ekonomi Khusus (Special Economic Zones (SEZs)). Kota yang menjadi zona ekonomi khusus ini nantinya akan didorong untuk membangun model ekonomi bisnis baru yang ketika berhasil akan menjadi model reformasi ekonomi bagi suatu negara. Salah satu kota Zona Ekonomi Khusus Tiongkok yang paling terkenal adalah Kota Shenzhen yang dibangun tahun 1980.

Zona Ekonomi Khusus (ZEK), atau dikenal sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Indonesia, sudah ada sejak tahun 1950-an. Keberhasilan Shenzhen sebagai KEK pun memberikan contoh bahwa KEK, yang ketika dijalankan dengan baik, adalah salah satu ‘kendaraan’ untuk pertumbuhan ekonomi baik melalui perdagangan internasional dan menarik investasi asing langsung (foreign direct investment (FDI)). KEK dapat memberikan kepastian kepada investor dalam mitigasi risiko di pasar di wilayah yuridiksi KEK (weforum.org, 7 Februari 2022).

Bagaimana cara Tiongkok menyukseskan KEK mereka? Zeng (2015) menjabarkan beberapa faktor utamanya dan unsur-unsur kebebasan ekonomi ternyata juga dipraktikkan. Misalnya, pertama, adanya dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk melakukan reformasi ekonomi yang berorientasi pasar. Pemerintah bertekad melakukan perubahan secara bertahap dan di saat yang sama juga membangun lingkungan bisnis yang sehat, peraturan dan lingkungan regulasi yang kondusif, sistem administrasi yang efisien, dan kebijakan yang terbuka. Kedua, budaya yang inovatif. Kelembagaan yang baik dapat menumbuhkan inovasi dan kewirausahaan dalam masyarakat di wilayah ZEK maupun menarik tenaga kerja dari daerah lain. Komunitas-komunitas ini yang memiliki motivasi kuat untuk mendorong budaya yang inovatif dan kewirausahaan yang baik.

Yang ketiga adalah pembelajaran teknologi, inovasi, peningkatan, dan hubungan kuat dengan perekonomian domestik. Hal ini didorong oleh banyaknya masyarakat yang terampil dalam penelitian dan pengembangan sehingga teknologi mulai proses adaptasi, difusi, maupun inovasinya akan terjadi. Pemerintah pun melakukan “learning by doing” terkait teknologi-teknologi tersebut. Selain itu, klaster industri dan perusahaan dalam negeri juga berkaitan erat dan didorong tidak hanya untuk mencapai skala ekonomi dan efisiensi bisnis, tetapi juga meningkatkan daya saing industri dan perusahaan dalam negeri. Keempat adalah insentif ekonomi. Insentif ekonomi, baik insentif fiskal dan non fiskal, diterapkan oleh KEK untuk menarik FDI. Insentif tersebut juga termasuk kebijakan yang sederhana, proses administrasi yang tidak berbelit-belit, dukungan infrastruktur, perizinan, maupun tarif pajak yang kompetitif.

Walaupun demikian, akan selalu ada tantangan maupun lubang perangkap yang harus dihindari dalam setiap kebijakan maupun proses transformasi ekonomi seperti KEK ini. Zeng (2015) mengatakan bahwa degradasi lingkungan adalah salah satu tantangan yang sangat serius. Padahal, biaya ekonomi yang dikeluarkan akan jauh lebih tinggi apabila lingkungan tidak dimasukkan dalam perhitungan ekonomi.

Tantangan kedua adalah adanya ketidakseimbangan antara perkembangan industri dan dimensi sosial. Disparitas antara KEK yang berhasil dengan KEK yang masih tertinggal dalam menyediakan berbagai instrumen pendukung, misalnya yang berlokasi di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), akan berpotensi meningkatkan ketimpangan antara masyarakat di KEK yang berhasil dengan KEK yang tertinggal. Progress pemerataan ekonomi pun akan terhambat. Tantangan terakhir adalah ketidaksiapan perencanaan dan penilaian yang tepat. Jika perencanaan dan penilaian dalam memulai KEK tidak dilakukan, maka akan terjadi potensi pemborosan sumber daya dan kerugian lingkungan. Pemborosan sumber daya akan menghambat potensi ekonomi lain yang seharusnya dapat dibangun, atau dengan kata lain, pemborosan sumber daya akan meningkatkan “opportunity cost” yang bermuara pada masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam jangka panjang. Dengan demikian, kelangkaan adalah prinsip dasar ekonomi yang harus tetap diingat pemerintah.

Untuk memitigasi ketiga tantangan tersebut, apa yang bisa dilakukan pemerintahan Presiden Prabowo? Pertama, untuk memitigasi degradasi lingkungan, pemerintahan Presiden Prabowo, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, harus mau menyelaraskan antara ekonomi dan lingkungan melalui kerangka berpikir keberlanjutan, yang jika menggunakan kutipan pernyataan Presiden Prabowo, harus berbasis logika dan perhitungan yang akurat. Selain itu, penting untuk membangun supremasi hukum yang memiliki standar keberlanjutan, seperti penggunaan energi baru terbarukan, praktik rendah karbon, pengelolaan limbah, yang disertai dengan tata kelola dan implementasi yang diawasi bersama.

Kedua, untuk mitigasi ketidakseimbangan antara perkembangan industri dan dimensi sosial, Kementerian Ketenagakerjaan bersama dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Perindustrian, dan kementerian lembaga terkait harus membangun pusat pelatihan di sekitar KEK untuk meningkatkan keterampilan dan daya saing tenaga kerja domestik maupun memberikan insentif bagi perusahaan yang mengutamakan tenaga kerja lokal dan transfer teknologi. Selain itu, perlu juga untuk mendorong UMKM dan kepemilikan lokal dalam beraktivitas ekonomi, seperti investasi di KEK.

Ketiga, untuk mitigasi ketidaksiapan perencanaan dan penilaian yang tepat, seluruh elemen pemerintah harus melakukan “evidence-based policy-making”, yang berbasis data faktual dalam setiap studi kelayakan guna menentukan pembangunan KEK. Aspek-aspek penting lainnya, seperti lingkungan, pilihan ekonomi, kearifan lokal, penting dimasukkan dalam perencanaan dan penilaian. Di samping itu, pelibatan elemen LSM, organisasi masyarakat sipil, praktisi, akademisi, media, sektor swasta, pemerintah daerah, hingga tingkat desa perlu dilakukan.

Dengan beberapa cara ini, pertumbuhan ekonomi 8 persen bukanlah sebatas janji politik dan niscaya akan tercapai. Pertumbuhan ekonomi yang berbasis logika, kontekstual, dan menjamin kebebasan ekonomi, serta perhitungan yang akurat menjadi penting agar Indonesia dapat mencapai cita-cita mulia Indonesia Maju 2045.

Putu Rusta Adijaya
Peneliti Bidang Ekonomi
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)
putu@theindonesianinstitute.com

Komentar