Tahun 2018 adalah tahun yang dinamis dan riuh untuk Indonesia, terutama seiring dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak periode ketiga. Tahun 2018 juga menjadi tahun yang hangat mengingat tahun ini menjadi semacam pijakan sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Pilkada serentak sendiri telah dilaksanakan pada tanggal 27 Juni di 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.
Dinamika Pilkada serentak yang melibatkan beragam aktor dan kepentingan, serta aspek dan kebijakan yang mendasarinya juga menjadi alasan The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) untuk menjadikan Pilkada serentak 2018 sebagai topik kajian kebijakan kami tahun ini dan menggarapnya dari aspek politik, ekonomi, maupun sosial. Kajian kebijakan yang dikerjakan dari bulan Februari hingga bulan Juni tahun ini dilakukan dengan studi dokumen dan literatur terkait Pilkada dari beragam aspek.
Kami juga melengkapi pengumpulan data dan analisis temuan dengan melakukan media monitoring terhadap lima media nasional online (detik.com, kompas.com, liputan6.com, merdeka.com, dan sindonews.com). Proses penulisan kajian kebijakan ini juga melalui internal peer review untuk mendapatkan masukan dari beragam aspek (redaksional maupun substansi) dan menjaga kualitas kajian kebijakan yang dihasilkan.
Untuk fokus area, kami memilih secara purposive dan mempertimbangkan ketersediaan data, tujuh provinsi untuk mewakili wilayah di Indonesia. Ketujuh provinsi tersebut adalah: Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku. Kajian kebijakan ini diharapkan dapat memberikan analisis dan gambaran tentang Pilkada Serentak tahun 2018 di ketujuh daerah tersebut. Selain itu, TII juga tetap menempatkan kajian kebijakan ini dalam konteks nasional dan kebijakan (peraturan perundang-undangan) terkait Pilkada dan kebijakan publik di Indonesia pada umumnya.
Pilkada adalah bagian dari indikator demokrasi dan mekanisme politik untuk tata kelola pemerintahan yang demokratis. Sebagaimana layaknya peristiwa politik, pelaksanaan Pilkada juga dilandasi oleh prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Beberapa indikator tata kelola pemerintahan yang baik juga mensyaratkan demokrasi yang inklusif dengan partisipasi politik yang terbuka untuk semua kalangan, termasuk didalamnya kelompok marjinal dan minoritas.
Di aspek politik, kami menyorot fenomena calon tunggal, inklusivitas politik dan partisipasi politik dalam Pilkada serentak 2018. Dalam kajian kebijakan ini, kami menganalisis fenomena calon tunggal yang terjadi baik dari aspek peraturan perundang-undangan terkait maupun dari konteks daerah dimana Pilkada dilaksanakan. Terkait kajian kebijakan di bidang politik, TII mengangkat tentang representasi dan partisipasi perempuan, serta partisipasi kelompok marjinal dan minoritas dalam Pilkada Serentak 2018.
Kajian kami menunjukkan bahwa inklusi politik dalam Pilkada 2018 telah mengakomodir beragam kelompok, meskipun representasi kelompok marjinal dan minoritas (perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, dan pengungsi) masih termasuk rendah akibat konstruksi sosial dan kebijakan yang menghambat partisipasi politik mereka. Analisis kami juga menemukan masih dominannya kandidat yang berlatar belakang swasta/pengusaha dalam bursa calon di Pilkada 2018. Hal ini juga tidak lepas dari biaya politik yang semakin mahal. Terpusatnya sumber daya pada segelintir kandidat tertentu juga mendorong fenomena calon tunggal dalam Pilkada dan hal ini juga terkonfirmasi pasca Pilkada tahun 2015, dengan semakin maraknya fenomena calon tunggal.
Pilkada sebagai peristiwa politik juga tidak berada dalam ruang hampa. Secara langsung maupun tidak langsung, Pilkada Serentak tahun 2018 juga memiliki aspek dan memberikan dampak ekonomi. Temuan kami menunjukkan bahwa pada skala makro, Pilkada Serentak tahun 2018 tidak memberikan dampak secara nyata terhadap beberapa indikator makro ekonomi. Penyelenggaraan Pilkada serentak yang identik dengan meningkatnya perputaran uang melalui belanja yang dilakukan oleh para kandidat maupun pengeluaran yang dilakukan pemerintah belum menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pergerakan laju inflasi dan IHSG.
Analisis kami menunjukkan bahwa fluktuasi yang terjadi pada tingkat inflasi dan IHSG selama periode kampanye politik justru terjadi karena faktor global dan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Selain itu, kami menganalisis aspek ekonomi Pilkada serentak dengan melihat beberapa indikator lain, seperti karakter ekonomi daerah terpilih dalam kajian ini; pengeluaran konsumsi partai politik yang dianggap sebagai lembaga non-profit; serta yang tak kalah menarik adalah tingkat kekayaan yang dimiliki para kandidat.
Hal lain yang menarik dan tidak kalah penting untuk dikaji dalam Pilkada adalah isu yang diangkat dalam kampanye para kandidat. Pemilihan topik dalam kajian kebijakan tahun 2018 ini juga tidak lepas dari fokus isu analisis kebijakan publik yang dikerjakan TII. Dalam hal ini, isu kesehatan masyarakat merupakan salah satu fokus analisis kebijakan kami, selain kebijakan publik di Provinsi DKI Jakarta tempat kami berlokasi. Pada umumnya, TII melakukan kajian kebijakan publik dengan melihat penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik lewat open government dan open data dalam proses kebijakan di Indonesia.
Dalam kajian kebijakan ini, analisis kami juga membandingkan posisi isu kesehatan dalam kampanye Pilkada serentak 2018 dengan Pilkada serentak tahun 2017. Kajian kebijakan TII di isu kesehatan menemukan bahwa kampanye isu kesehatan masih berkutat pada pelayanan kesehatan yang bersifat fisik dan populis. Para kandidat masih belum serius menjadikan kesehatan sebagai bagian dari kampanye politiknya dengan tolak ukur keberhasilan jangka panjang.
Lebih jauh, program kerja kandidat juga belum spesifik menyebutkan bentuk nyata kegiatan yang akan dilaksanakan. Temuan TII juga menunjukkan bahwa masih ada ketidaksesuaian antara visi dan misi para kandidiat dengan permasalahan kesehatan di daerah pemilihan masing-masing.
Berdasarkan temuan dan analisis kebijakan terkait Pilkada 2018 dari beragam aspek tersebut, TII mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan yang pada intinya berupaya mendorong Pilkada yang inklusif dan peka terhadap representasi dan partisipasi, serta kebutuhan beragam kelompok dan lapisan masyarakat. Demokrasi yang inklusif, partisipatif, transparan, akuntabel, serta relevan juga tidak hanya berhenti di tataran kebijakan, namun juga dalam proses kebijakan dan prakteknya.
Kami harap kajian kebijakan ini dapat memperkaya analisis kebijakan mengenai Pilkada khususnya dan kebijakan publik pada umumnya, terutama untuk memahami Pilkada dari beragam aspek. TII juga ingin memberikan kritik dan saran bagi beragam pemangku kepentingan untuk bersama-sama menjadikan momentum Pilkada sebagai salah satu alat untuk menciptakan demokrasi representatif yang kontekstual dan relevan di Indonesia.
Salam,
Adinda Tenriangke Muchtar, PhD
Direktur Eksekutif
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research
Download Kajian Kebijakan Pilkada 2018