Fenomena pinjaman online (pinjol) melalui financial technology (fintech) dengan tujuan pemakaian konsumtif saat ini menjadi hal yang mudah untuk dilakukan oleh siapapun (mulai dari tingkat mahasiswa, ibu rumah tangga maupun kalangan pekerja). Selain dari jenisnya yang begitu banyak dan skema pembayaran angsuran yang beragam, pinjol tidak jarang membuat masyarakat dapat memiliki lebih dari satu akun aplikasi. Mudahnya akses pencairan dengan hanya modal Kartu Tanda Penduduk (KTP) mampu membuat masyarakat (terutama anak muda) tergiur untuk memanfaatkan pinjol termasuk untuk membeli tiket konser dengan harga berapapun. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Friderica Widyasari Dewi, dalam sambutannya pada Sharia Finansial Olympiad (ISFO) di Jakarta, mengingatkan agar masyarakat tidak mengajukan pembiayaan dari pinjol untuk kegiatan konsumtif, termasuk membeli tiket konser (Antara news, 22/5/2023).
Meskipun pengunaan aplikasi fintech pada beberapa tahun terakhir ini dinilai tinggi, namun masyarakat juga harus menyadari akan risiko hukum yang dihadapi jika mengalami gagal bayar (kredit macet). Data yang dilansir Otoritas Jasa Keuangan (OJK), outstanding pinjaman macet lebih dari 90 hari dengan peer-to-peer (P2P) lending untuk kelompok perseorangan mencapai Rp1,14 triliun. Nilai ini terdiri dari 463.790 rekening penerima pinjaman aktif. Berdasarkan kelompok usia, pinjaman macet P2P lending didominasi oleh generasi milenial dengan usia di rentang 19 hingga 34 tahun senilai Rp672 miliar. Nilai ini mengalami kenaikan 20,86 persen secara tahunan (year-on-year) dari Rp556,02 triliun pada bulan Maret 2022 (Bukamatanews.id, 19/05/2023).
Meningkatnya jumlah pengguna aplikasi fintech yang didominasi oleh kaum milenial di kota besar sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang juga riuh dengan gaya hidup hedonistik menjadikan mereka rentan mengalami kecemasan psikologis yang disebut sebagai FOMO (Fear of Missing Out). Orang dengan gejala kecemasan ini akan mencari cara untuk menerima, menikmati, dan menjadi bagian dari momentum, sekalipun itu diwujudkan melalui pinjaman, termasuk pinjol.
Pemerintah melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebelumnya yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016, serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, mencantumkan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar tindakan persekusi digital dan penyalahgunaan data pribadi dari pelanggan (Kominfo.go.id, 23/2/2018). Hal ini sengaja diberlakukan mengingat tingginya potensi gagal bayar oleh pengguna pinjol. Masyarakat sebagai pengguna jasa keuangan ini perlu menyadari pentingnya meningkatkan literasi digital dan literasi keuangan.
Pentingnya literasi keuangan diberikan pada masyarakat terutama ditujukan bagi generasi milenial ke atas agar mereka memahami risiko keuangan dalam penggunaan berbagai jasa keuangan yang hadir saat ini. Masyarakat harus mampu mengukur kebutuhan hidup melalui skala prioritas. Hal ini mengingat bahwa situasi ekonomi yang tidak pasti seharusnya membuat masyarakat lebih bijak dalam menggunakan setiap nilai rupiah yang dimilikinya.
Lebih jauh, untuk mengatasi tindakan persekusi lembaga keuangan online, pemerintah melalui OJK, berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), serta lembaga terkait lainnya, perlu mengkaji kembali aturan persyaratan perizinan tentang fintech P2P lending ini. Meskipun hal ini telah diatur dalam UU ITE dan Permenkominfo tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, namun pemerintah perlu menyaring kembali dan menindak ratusan entitas fintech yang terbukti melanggar hukum, seperti menggunakan cara-cara kekerasan dalam menangani kredit macet nasabah, serta mengadvokasi masyarakat yang mengalami permasalahan tersebut dengan pendekatan yang lebih edukatif untuk mencegah terjadinya hal serupa di masa mendatang.
Kolaborasi Kemenkominfo melalui program literasi digital dan literasi keuangan yang melibatkan beragam pemangku kepentingan terkait (misalnya, Kementerian Keuangan; OJK; Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, maupun Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, serta beragam komponen masyarakat sipil terkait dengan permasalahan ini) juga perlu ditingkatkan untuk mengatasi permasalahan ini secara komprehensif dan efektif.
Pendekatan seperti ini sangat penting untuk memfasilitasi kebebasan ekonomi dan pilihan individu konsumen, dengan pembekalan informasi yang relevan dan memadai tentang literasi keuangan dan literasi digital, termasuk soal pinjol (manfaat dan risiko). Dengan demikian, masyarakat konsumen, termasuk anak muda, dapat menjadi konsumen yang bijak, cerdas, dan kritis, dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk dalam kaitannya dengan pemanfaatan pinjol.