Memasuki awal tahun 2019, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah serius mengejar target indeks inklusi keuangan nasional yang dipatok sebesar 75 persen. Pemerintah terus berupaya meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan lembaga keuangan yang saat ini terbilang masih relatif rendah. Merujuk hasil survei Global Findex 2017, baru sekitar 48,9 persen penduduk dewasa di Indonesia memiliki rekening simpanan di lembaga keuangan formal (Bank Umum, BPR, Koperasi dan Lembaga keuangan Mikro).
Mengingat masih rendahnya capaian Indonesia terhadap target keuangan inklusif, pemerintah tengah berencana menetapkan Hari Menabung Nasional. Sardjito selaku Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK menjelaskan, penetapan Hari Menabung Nasional dimaksudkan sebagai gerakan untuk mengejar target rasio keuangan inklusif sebesar 75 persen di akhir 2019, dari rasio akhir 2018 yang masih sebesar 48 persen (antaranews.com, 21/1).
Lebih jauh, Sardjito mengungkapkan saat ini pemerintah, OJK dan Bank Indonesia (BI) tengah membahas tanggal peringatan Hari Indonesia Menabung tersebut. Ia menambahkan bahwa Peringatan Hari Menabung Nasional ini nantinya akan diperkuat dengan landasan hukum berupa Surat Keputusan Presiden (Keppres).
Penulis melihat bahwa upaya pemerintah mengejar target indeks inklusi keuangan sebesar 75 persen masih akan sulit tercapai di tahun 2019. Pasalnya jika melihat data histori, Indonesia kurang lebih butuh sekitar 3 tahun untuk mencapai indeks inklusi keuangan sebesar 48,9 persen di tahun 2017 atau hanya tumbuh 12,8 persen dibanding tahun 2014 yang sebesar 36,1 persen. Sedangkan saat ini Indonesia harus meningkatkan sekitar 26,1 persen dalam jangka waktu satu tahun kedepan, kondisi ini tentu tidak akan mudah.
Seperti yang diungkapkan Rahmi Artati, Direktur Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, lambannya pertumbuhan indeks inklusi keuangan nasional salah satunya dipengaruhi oleh faktor jarak (aksesibilitas) antara tempat tinggal masyarakat dengan lembaga keuangan dan faktor biaya pembuatan rekening awal yang dinilai masih cukup mahal (merdeka.com, 10/4/2018).
Namun, upaya meningkatkan layanan keuangan bagi masyarakat patut didorong untuk menunjang aktivitas ekonomi masyarakat. Rencana penetapan Hari Menabung Nasional ini jangan hanya dijadikkan sebagai kegiatan seremonial semata. Lebih jauh, juga perlu diikuti dengan aksi nyata dalam memberikan edukasi dan akses layanan keuangan yang ramah bagi seluruh lapisan masyarakat.
Masih merujuk publikasi yang sama dari Global Findex 2017, bahwa terdapat kecenderungan di negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi maju (Amerika Serikat, China, Hongkong, Jepang, Singapura, dan negara-negara Eropa) memiliki indeks inklusi keuangan yang tinggi (di atas 80%). Kondisi ini dapat menerangkan bahwa tingkat inklusi keuangan memiliki peran penting dalam mendukung kemajuan perekonomian suatu negara.
Kemudian, hasil studi Anwar dkk (2016) juga menemukan bahwa inklusi keuangan memberikan efek signifikan pada investasi dan pertumbuhan, serta menurunkan angka kemiskinan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa meningkatkan inklusi keuangan tidak bisa dipandang sebelah mata, karena secara nyata memberikan rentetan dampak positif bagi kemajuan pembangunan.
Keuangan Inklusif Tanpa Literasi Keuangan Akan Sulit
Hal yang jarang disadari oleh pemerintah ketika menyinggung inklusi keuangan adalah persoalan literasi keuangan masyarakat. Merujuk Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), literasi keuangan didefinisikan sebagai pengetahuan dan pemahaman atas konsep dan risiko keuangan, berikut keterampilan, motivasi, serta keyakinan untuk menerapkan pengetahuan dan pemahaman yang dimilikinya tersebut dalam rangka membuat keputusan keuangan yang efektif, meningkatkan kesejahteraan keuangan (financial well being) individu dan masyarakat, dan berpartisipasi dalam bidang ekonomi.
Penguatan kualitas layanan keuangan tidak dapat berjalan optimal ketika masyarakat sendiri tidak begitu mengetahui pentingnya pengelolaan keuangan dan peran jasa keuangan. Saat ini mayoritas penduduk di Indonesia memiliki literasi keuangan yang cukup rendah. Berdasarkan survei OJK (2016), hanya terdapat 29,7 persen penduduk Indonesia yang memiliki kecakapan dalam pemanfaatan produk keuangan, sedangkan sisanya sekitar 70,3 persen masyarakat belum memiliki kecakapan dalam pengelolaan keuangan.
Penulis memberikan beberapa catatan terkait upaya pemerintah dalam mengerek indeks inklusi keuangan nasional yang masih jauh dari target. Pertama, terkait penetapan Hari Menabung Nasional jangan hanya target tersebut sebatas mengejar rekening tabungan baru, namun perlu memastikan bahwa masyarakat juga memahami peran dan fungsi lembaga keuangan bagi masyarakat dan dampak terhadap aktivitas perekonomian nasional.
Kedua, sebetulnya OJK pada tahun 2015 telah mengeluarkan program Branchless Banking yang ditujukan untuk mendorong inklusi keuangan nasional, yaitu program Layanan Keuangan Tanpa kantor atau sering disebut Laku Pandai. Namun, penulis mencermati akses layanan program tersebut sangat terbatas dan belum mampu merangkul seluruh lapisan masyarakat, salah satunya bagi penyandang disabilitas.
Lebih jauh, jika dilihat dari buku saku Laku Pandai, tidak tercantum kualifikasi agen program Laku Pandai untuk memiliki kecakapan dalam melayani orang dengan keterbatasan. Selain itu, outlet yang dijadikan sebagai tempat agen Laku Pandai juga belum ada standarisasi ramah bagi penyandang disabilitas. Maka dari itu, peningkatan inklusi keuangan ini juga harus memastikan bahwa lembaga keuangan harus mampu merangkul seluruh lapisan masyarakat.
Ketiga, optimalisasi peran Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPKAD) yang saat ini telah berdiri 61 TPKAD di tingkat provinsi, kabupaten maupun kota. Edukasi dan Perlindungan Konsumen sangat penting untuk meningkatkan awareness masyarakat terhadap sektor jasa keuangan.
Dengan kata lain, jika upaya-upaya tersebut diabaikan, maka akan sangat sulit bagi Indonesia untuk mengejar indeks inklusi keuangan agar sejajar dengan negara-negara maju.
Riski Wicaksono, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, riski@theindonesianinstitute.com