Pemerintah tengah berpikir keras agar dapat menutup defisit yang terus dialami oleh BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan sebagai lembaga pengelola dana Jaminan Kesehatan Nasional telah menghitung total defisit sampai akhir tahun 2018. Klaim dari BPJS Kesehatan menyatakan bahwa defisit yang dialami mencapai Rp 16.5 triliun. Sedangkan angka berbeda dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan defisit BPJS Kesehatan sekitar Rp 10.9 triliun. Dengan kata lain, terdapat selisih Rp 5.6 triliun perhitungan BPJS dengan perhitungan BPKP (finance.detik, 5/12).
Permasalahan ini jelas berhasil menyedot perhatian publik dan pemerintah, terlebih memasuki tahun politik 2019. Pemerintah sendiri telah berupaya mengatasinya dengan wacana penggunaan dana cukai rokok. Opsi ini mungkin saja bisa dilakukan, namun satu hal yang harus pemerintah jamin bahwa dana cukai rokok untuk defisit BPJS Kesehatan tidak akan mengganggu dana cukai untuk program promotif dan preventif. Hal ini sejalan dengan aspek legal dalam Peraturan Menteri Kesehatan no.40 Tahun 2016 Pasal 2 yang menyatakan bahwa dana cukai rokok dapat dipergunakan untuk penurunan faktor risiko penyakit, upaya promosi kesehatan, pengendalian konsumsi rokok, dan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama.
Permasalahan defisit BPJS Kesehatan nyatanya juga menyedot perhatian calon wakil presiden Sandiaga Uno. Beberapa langkah yang dijanjikan untuk mengatasi defisit adalah menghitung premi yang harus dibayar oleh masyarakat berdasarkan kemampuan, menanggung kalangan menengah ke bawah, serta menaikkan premi kelas dua atau kelas tiga (nasional.kompas, 5/12).
Jika dilihat kembali, opsi penanganan dengan menanggung kalangan menengah ke bawah juga telah dilakukan oleh pemerintah melalui kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI). Sedangkan masyarakat menengah ke atas masuk dalam kategori non-PBI. Peserta non-PBI harus membayar iuran bulanan per bulan dengan ketentuan Rp 80.000 untuk kelas I, Rp 51.000 untuk kelas II, dan Rp 25.500 untuk kelas III (panduanbpjs.com, 5/12). Jadi, rekomendasi menanggung kalangan menengah ke bawah masih konsep lama yang bahkan sudah dijalankan.
Opsi lain yang ditawarkan adalah menghitung premi yang harus dibayakan oleh peserta. Jauh sebelum defisit BPJS Kesehatan sampai pada angka Rp 16,5 triliun, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Profesor Budi Hidayat (Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia) tahun 2015 telah mengeluarkan rekomendasi kenaikan tarif PBI sekitar Rp 36.000 per orang per bulan. Untuk peserta mandiri/non-PBI kelas III Rp 36.000 per orang per bulan, kelas II Rp 65.000 per orang per bulan, dan kelas I Rp 88.000 per orang per bulan (Info BPJS Kesehatan, 2015).
Perhitungan premi ideal yang harus dibayarkan peserta setiap bulan bukan belum dilakukan. Namun, sampai saat ini pemerintah masih enggan menaikkan premi bulanan dengan dalih kemampuan ekonomi masyarakat yang terbatas. Benarkan masyarakat kita memang tidak mampu? Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2015, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk rokok adalah Rp 640.000 per bulan dengan mayoritas perokok adalah kelompok termiskin dan miskin.
Fakta tersebut semakin menggelitik mengingat jika jadi dinaikkan, besar iuran per bulan bahkan tidak mencapai 20 persen dari pengeluaran konsumsi rokok rumah tangga termiskin dan miskin. Janji politik untuk meningkatkan iuran semoga masih dapat kita lihat realisasinya andai pasangan tersebut memenangkan kontestasi Pilpres 2019. Jangan sampai alasan klise melindungi masyarakat miskin menjadi kambing hitam gagalnya calon pemimpin menepati janji-janji politiknya dan masalah defisit BPJS Kesehatan hanya menjadi sasaran empuk komoditas politik.
Umi Lutfiah, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, umi@theindonesianinstitute.com