Indonesia dalam Gender Gap Index 2020 Report: Beberapa Catatan

Laporan The Global Gender Gap Index 2020 menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari 153 negara dengan skor 0.70. Angka tersebut sayangnya tidak mengalami perubahan dari tahun 2018. Peringkat tersebut masih tertinggal jauh dari negara-negara tetangga, seperti Filipina pada urutan 16, Laos pada urutan 43, Singapura pada urutan 54 dan Thailand pada urutan 75. Sebagai catatan, Filipina secara konsisten menekan ketimpangan gender dengan mengoptimalkan kepemimpinan ekonomi dan politik, bagi perempuan dan laki-laki.

Di sisi lain, peringkat Indonesia berada di atas Vietnam yang duduk pada urutan 87, Brunei Darussalam pada urutan 95, Malaysia pada urutan 104, Myanmar pada urutan 114, dan Timor Leste pada urutan 117. Untuk urusan indeks ketimpangan gender ini, skor Indonesia pun masih berada di atas Korea Selatan yang bertengger pada angka 108 dan Jepang yang berada pada angka 121. Catatan menarik pada konteks Jepang; negara tersebut masih perlu menyelesaikan pekerjaan rumah besar dalam hal pintu masuk representasi politik perempuan.

Secara global, ketimpangan gender menjadi persoalan besar. Laporan dwi tahunan tersebut menyatakan bahwa kesetaraan gender mungkin baru akan tercapai 99.5 tahun ke depan. Saat ini, baru 68.6 persen jarak ketimpangan yang baru terpenuhi; dengan kata lain, 31.4 persen lainnya masih menjadi upaya global ke depannya. Pada tahun ke-14 perhitungan indeks ini, potret ketimpangan gender disorot dalam empat dimensi utama: partisipasi dan kesempatan ekonomi, tingkat pendidikan, kesehatan dan harapan hidup dan pemberdayaan politik.

Beberapa catatan pada indeks tersebut menunjukkan bahwa terdapat peningkatan di sana-sini. Representasi politik perempuan berkontribusi secara signifikan walaupun secara keseluruhan, arena politik masih menjadi performa dimensi yang paling buruk. Butuh waktu 94.5 tahun untuk bergerak cepat menutup ketimpangan tersebut.

Pada skala lain, proyeksi laporan tersebut mengatakan bahwa kira-kira akan membutuhkan waktu 12 tahun untuk menutup jurang ketimpangan dalam bidang pendidikan. Dimensi partisipasi dan kesempatan ekonomi membutuhkan waktu lebih lama: 257 tahun. Sisi lainnya, masih sulit untuk mendefinisikan proyeksi menyelesaikan ketimpangan pada dimensi kesehatan dan harapan hidup. Namun, secara umum, laporan tahun ini menggambarkan bahwa ketimpangan gender sudah dapat ditekan atau bahkan pencapaian penuh pada empat dimensi tersebut telah terjadi pada 40 negara dari 153 negara yang diukur.

 

Indonesia Menekan Ketimpangan Gender

Kemudian, bagaimana upaya mengentaskan ketimpangan gender di Indonesia? Seperti telah disebut di atas, Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan dalam dua tahun ke belakang. Catatannya, perubahan kecil pada skor dipengaruhi oleh peningkatan partisipasi dan kesempatan ekonomi. Misalnya, Indonesia mengalami perbaikan pada hal peran kepemimpinan perempuan dengan angka 55 persen dan menjadi negara ke enam di dunia yang mayoritas kepemimpinan di bidang ekonomi dipegang perempuan. Namun, persoalan pentingnya ialah bahwa partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja dan distribusi pendapatan masih rendah dengan angka 54 persen.

Pada bidang pendidikan dan kesehatan, setidaknya Indonesia telah mencapai skor 97.0. Dengan kata lain, ketimpangan tersebut hampir telah tertutup. Namun, jika ditelisik pada subindeks, angka literasi dan rasio partisipasi pendidikan dasar perempuan masih rendah, yaitu 94 persen perempuan dibanding 97 persen laki-laki, serta 91 persen dibanding 96 persen laki-laki.

Pada bidang politik, catatan ketimpangan masih terjadi walaupun kondisi tersebut dapat dikritisi dengan pencapaian representasi politik perempuan di parlemen pada Pemilu Legislatif 2019 lalu yang mencapai 20.87 persen. Catatannya, ketimpangan tersebut masih besar pada representasi perempuan di kabinet. Bahkan, pada kabinet Indonesia Maju, jumlah angka perempuan turun, yakni ada lima orang perempuan dari 34 menteri di kabinet. Artinya, hanya terdapat 15 persen perempuan di kabinet dibandingkan periode lalu.

Sederetan angka-angka di atas, pada dasarnya menunjukkan bahwa pekerjaan rumah Indonesia untuk mengentaskan ketimpangan gender masih besar. Angka 0.70 berarti masih terdapat 0.30 atau 30 persen berbagai pekerjaan rumah menyangkut empat dimensi di atas. Tentunya, catatan-catatan tentang upaya menentang ketimpangan gender di Indonesia di atas perlu diupayakan oleh berbagai pihak.

Pada sisi ekonomi, rendahnya partisipasi perempuan di tenaga kerja perlu didorong dengan berbagai bauran kebijakan yang tegas untuk mengarusutamakan pentingnya pendekatan gender dalam penerapan kebijakan ketenagakerjaan, mulai dari perlindungan hak-hak tenaga kerja perempuan, proporsi gender dalam implementasi Program Kartu Pra-Kerja ke depannya, serta investasi untuk pendidikan dan keterampilan bagi anak perempuan dan perempuan yang relevan dengan perkembangan pekerjaan masa depan. Investasi bagi pendidikan anak perempuan tersebut pun harus dikaitkan dengan dimensi pendidikan untuk mengoptimalkan pencapaian pendidikan anak perempuan pada tingkat pendidikan dasar dan literasi.

Bauran kebijakan ketenagakerjaan di atas pun harus mempertegas komitmen menekan kesenjangan upah yang terjadi pada pekerjaan serupa. Hal yang dapat diupayakan ialah membentuk mekanisme yang memadai untuk mengumpulkan data terkait upah di berbagai sektor pekerjaan kepada pemerintah. Mekanisme tersebut diharapkan menjadi alat monitoring dan evaluasi yang dapat dimiliki oleh berbagai pihak.

Pada sisi kesehatan, penguatan jaminan kesehatan universal yang tercakup dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) masih menjadi utama. Selain itu, permasalahan terbaru adalah terkait dengan penerapan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang meniadakan manfaat pelayanan bagi korban kekerasan seksual karena diserahkan dengan institusi terkait. Ketika keputusan tersebut disahkan, maka komitmen pemerintah ialah menguatkan kelembagaan dan anggaran (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban maupun pemerintah daerah) untuk memungkinkan aksesibilitas korban atau penyintas kekerasan seksual untuk mendapatkan bantuan medis yang memadai.

Terakhir, pada sisi politik, pemberdayaan politik tetap beriringan dengan representasi politik perempuan. Kebijakan afirmasi kuota gender bukanlah sekadar token, namun lebih pada pemberdayaan politik bagi aktivisme perempuan untuk duduk di bangku-bangku pemerintahan. Dalam hal ini, representasi politik perempuan harus didukung dengan pengarusutamaan model kepemimpinan perempuan, program pelatihan politik bagi perempuan mulai dari partai politik maupun bekerjasama dengan lembaga-lembaga sipil terkait, dan visibilitas di media.

 

Nopitri Wahyuni

Peneliti Bidang Sosial

The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

Komentar