Hapus Bansos Cegah Korupsi

Ahmad Khoirul Umam Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia, Research Associate di The Indonesian Institute (TII) Jakarta.

Ahmad Khoirul Umam
Kandidat Doktor Ilmu Politik di School of Political Science & International Studies, The University of Queensland, Australia, Research Associate di The Indonesian Institute (TII) Jakarta.

INSTRUKSI Presiden Joko Widodo kepada Mendagri untuk menghapus sebagian besar alokasi dana bantuan sosial di berbagai tingkat struktur pemerintahan secara nasional (Kompas, 22/12) merupakan langkah progresif yang perlu didukung dan diapresiasi. Terlepas apa pun motif, agenda, serta kepentingan di balik instruksi tersebut, penghapusan pos anggaran dana bantuan sosial itu senada dengan agenda pemberantasan korupsi di tanah air.

Usul penghapusan tersebut pernah disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada medio Maret 2014 untuk meminimalkan praktik penyalahgunaan pos anggaran bansos menjelang Pemilu dan Pilpres 2014. Usul KPK itu bukan tanpa dasar mengingat berdasar nota keuangan dalam keputusan presiden saat itu, ditemukan penggelembungan alokasi dana bansos dari yang semula Rp 55,86 triliun melonjak menjadi 91,8 triliun. Penggelembungan angka tersebut disebabkan adanya perubahan posting-an anggaran negara dari yang semula belanja infrastruktur dan belanja barang berubah menjadi alokasi bantuan sosial.

Dalam berbagai kajian political corruption, dana bantuan sosial memang memiliki kaitan erat dengan fungsi pendanaan partai-partai politik. Ketika tidak memiliki sumber pendanaan yang independen, partai akan cenderung mengintensifkan para kadernya yang duduk di pos-pos jabatan publik untuk mengeruk sumber-sumber pendapatan alternatif. Hal tersebut memicu maraknya fenomena rent-seeking behavior yang pada derajat tertentu dianggap sangat membahayakan sendi-sendi dasar demokrasi (Mietzner, 2007; Schiller, 2010; Mwangi, 2008).

Cara pandang teoretis itu juga dikonfirmasi oleh kajian-kajian lapangan yang dilakukan KPK (2014), ICW (2013), dan Fitra (2013) yang menemukan adanya korelasi yang signifikan antara alokasi anggaran bantuan sosial dan pelaksanaan pilkada atau pemilu secara nasional. Karena itu, dalam berbagai kontestasi politik lokal maupun nasional, incumbent sering berada di atas angin karena gerbong politiknya disuplai oleh alokasi anggaran bansos yang telah jauh-jauh dianggarkan.

Karena itu, wajar jika publik menyaksikan bagaimana kontestasi politik dalam ruang demokrasi di berbagai negara ini hampir selalu melibatkan formasi kekuatan dan jaringan kaum pengusaha. Kehadiran pengusaha yang diharapkan dapat menjadi sumber pendanaan alternatif untuk menghadapi kekuatan-kekuatan incumbent yang telanjur mapan. Parahnya, ketika berhasil memenangi kompetisi, oposisi yang di-support kaum pengusaha juga akan menciptakan siklus dan lingkaran setan (vicious circle) yang sama. Kekuasaan yang mereka raih akan juga dipertahankan.

 

Antisipasi Informal Governance
Selama ini dana bantuan sosial merupakan pos anggaran yang paling aman untuk dimainkan para kepala daerah dan wakil rakyat ketimbang harus melakukan penggelapan, markup APBN dan APBD, pemotongan anggaran proyek-proyek besar infrastruktur publik, hingga praktik kolusi dan perselingkuhan kepentingan dengan kalangan pengusaha, yang semua itu notabene relatif mudah ditarget oleh para penegak hukum. Karena itu, dana bansos acap kali diposisikan sebagai sumber alternatif untuk memenuhi pundi-pundi keuangan partai, termasuk mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan selama masa kampanye.

Dengan dipangkasnya alokasi bantuan sosial, seluruh elemen yang selama ini memanfaatkan pos anggaran bansos sangat mungkin akan semakin mengintensifkan upaya-upaya predatorik untuk mengeruk sumber pendapatan ilegal yang lain (illegal financing sources) melalui mekanisme informal governance (Hidayat, 2010).

Para politikus dan kontestan politik akan mengundang para investor atau pebisnis untuk bergabung dalam jaringan dan membentuk sebuah “negara bayangan”. Setelah menerima pinjaman dana politik, para kepala daerah dan politikus umumnya akan menjanjikan perlindungan politik, perlindungan hukum bagi para investor, memberikan tawaran berupa proyek-proyek besar berupa pembangunan infrastruktur daerah, mengeksplorasi sumber daya alam, praktik ilegal mengemplang pajak, hingga memaksakan upaya privatisasi aset-aset negara di tingkat lokal.
Para aktor negara dan investor politik itu akan mengganti uang yang telah mereka keluarkan semuanya dengan mengeksploitasi sumber daya lokal maupun nasional melalui proyek-proyek berdana besar. Fenomena semacam itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Sierra Leone, Afrika, Bolivia, Kolombia, Bengal Barat, India, Thailand, Filipina, dan lainnya (Crook dan Sverrisson, 2001: 37; Johnson, 2001: 525).

 

Partisipasi Publik
Ancaman fenomena informal governance itu tetap dapat diantisipasi oleh partisipasi publik untuk membantu mengintensifkan agenda pemberantasan korupsi yang digalakkan lembaga-lembaga antirasuah yang ada. Dalam skala pemerintahan yang terdesentralisasi, partisipasi masyarakat untuk mengawasi dan melakukan monitoring di setiap proses pengambilan kebijakan publik di semua level pemerintahan merupakan alat efektif untuk menekan tindak pidana korupsi (Lowson, 2009; Villlon, 2007).

Selain itu, pengawasan ketat perlu diarahkan kepada Kementerian Sosial selaku institusi yang akan diamanahi untuk mengelola dana bantuan sosial selanjutnya. (*)

*) Research associate di The Indonesian Institute (TII) Jakarta, kandidat doktor ilmu politik The University of Queensland, Australia ( ahmad_umam@yahoo.com)

Komentar