Jakarta – Tanpa melalui konvensi, Aburizal Bakrie melaju menjadi capres dari Golkar. Konvensi yang pernah akrab dengan Golkar pada 2004 itu perlahan namun pasti semakin memudar. Padahal dengan konvensi akan lebih menguntungkan partai berlambang pohon beringin ini.
“Meskipun mereka mengatakan dalam pengalamannya capres Golkar yang menang konvensi 2004 kalah di pilpres. Tapi menurut saya itu ada problem lain. Yang jelas menguntungkan partai, dan Golkar di 2004 terbukti menjadi pemenang pemilu,” kata peneliti politik dari The Indonesian Institute, Hanta Yudha.
Berikut ini wawancara detikcom dengan alumnus UGM ini, Kamis (27/10/2011).
Ical maju capres tanpa konvensi Golkar, menurut analisa Anda kenapa?
Saya kira itu keengganan dan kekhawatiran ketua umum dan pendukungnya di Golkar, kalau mengadakan konvensi khawatir kalah. Mungkin berkaca dari konvensi 2004, di mana ketika saat itu Akbar Tandjung kalah dengan Wiranto. Ya boleh dikatakan kurang PD (percaya diri).
Meskipun mereka mengatakan dalam pengalamannya, capres Golkar yang menang konvensi 2004 kalah di pilpres. Tapi menurut saya itu ada problem lain. Yang jelas menguntungkan partai, dan Golkar di 2004 terbukti menjadi pemenang pemilu.
Konvensi ini lebih bagus ketimbang survei internal?
Terobosan konvensi bagus dan demokratis, tetapi kader dan konstituen partai sebagai ‘pemilik saham’ terbesar di partai harus dilibatkan. Bahkan mestinya proporsi suara kader dan anggota partai lebih dominan dari elite atau pengurus partai. Karena itu, konvensi yang demokratis dan transparan perlu didahului dengan pemilu pendahuluan (primary election) dilingkup internal partai yang bersangkutan. Hal ini untuk mengurangi potensi politik uang sekaligus untuk memutuskan rantai oligarki elite di partai. Sehingga harus dibuka kesempatan yang sama kepada seluruh kader maupun di luar kader untuk mendaftarkan diri.
Konvensi ini menguntungkan konstituen dan anggota partai, karena kader atau anggota tak hanya dilibatkan dalam tahapan pemilihan (eleksi) tetapi juga mulai dari tahap seleksi di partai (konvensi).
Selama ini publik hanya melihat tahapan eleksi. Di seleksi ini, publik tidak terlibat sama sekali. Seleksi ini tertutup, transaksional, oligarki. Untuk itulah konvensi penting dilakukan. Di Indonesia itu kan ketum parpol yang dominan. Kalau jadi ketum, ketua dewan pembina, seolah itu sudah menjadi tiket.
Apa yang harus dilakukan agar konvensinya benar-benar berjalan baik?
Kalau mau konvensi, jangan seperti yang dilakukan Golkar pada 2004. Tapi semacam primary election di internal. Itu dikombinasikan dengan metode survei untuk pemilu internal. Poinnya, konvensi jangan elitis, proporsi bukan hanya ketua pengurus tapi suara anggota dan kader partai. Anggota dan kader partai, merupakan pemilik saham tertinggi yang harus dilibatkan. Jadi konvensi diperluas, dikombinasikan dengan pemilu internal yang transparan, meritokratis.
Dengan begini maka masyarakat bisa terlibat. Capresnya kemudian punya posisi kuat di partai, juga terbuka untuk hindari money politik.
Keuntungan bagi partai?
Kalau didahului primary election, maka bisa mendorong citra partai sebagai partai yang demokratis dan aspiratif. Karena pemilu internal semacam itu pasti menjadi liputan media.
Selain itu akan menggairahkan seluruh infrastruktur internal, kader, pengurus, yang kurang bergerak maka sekarang jadi gerak. Karena itu jadi ada dinamika di internal. Dan dengan konvensi maka berpotensi meningkatkan soliditas.
Sebab ini wadah dari pelembagaan faksionalisme. Karena konvensi bisa melembagakan persaingan. Meskipun bagi ketua partai, berat buat buka konvensi.
Bukankah survei juga bisa mewakili aspirasi di tingkat akar rumput Golkar juga?
Survei juga bagus, tapi harus dikombinasikan dengan konvensi. Namun surveinya juga harus terbuka dan harus digelar dengan benar. Kalau hanya survei semata yang dijadikan dasar, dikhawatirkan validitasnya, dan seterusnya.
Jika Ical capres, bagaimana peluangnya?
Karena ada kasus lumpur Lapindo dan mafia pajak Gayus Tambunan, saya rasa Pak Ical tidak akan terlalu mulus. Kalau kedua hal itu clear, jadi peluang mulus Ical. Tantangan Ical lainnya berasal dari internal Golkar. Sebab di dalam tubuh Golkar ada beberapa faksi. Ini menjadi tantangan bagi Ical untuk mengusung strategi agar faksionalisme tidak kuat mencuat dan merugikan dia.
Ical mengkondisikan agar posisi tiket capres 2014 tetap jadi miliknya. Hal itu tentu sah-sah saja. Tapi pilpres masih tiga tahun lagi. Tentu saja pengumuman capres cepat ada implikasinya. Negatifnya adalah adanya risiko seperti bonsai. Ibarat bonsai, jika ada satu tangkai yang menjulang tinggi, maka tangkai akan dipotong.
Dipotong oleh lawan politik. Namun positifnya punya banyak waktu untuk sosialisasi. Mungkin takut terlambat keluar. Karena kalau terlambat, maka public relations dan strategi periklanan nantinya juga akan terlambat. Sedangkan plusnya, Ical makin dikenal.
Apakah Anda lihat pencapresan cepat ini akan diikuti partai lainnya?
Saya kira semua punya strategi dan mekanisme sendiri, masing-masing punya kandidat. Tapi kan ada ambang batas 15 persen untuk bisa mengusung presiden. Kalau sekarang banyak yang memunculkan nama-nama, itu seperti testing the water, sejauh mana penerimaan publik. Nanti publik ada waktu untuk menilai dan melihat track recordnya.
Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Tapi seorang kandidat untuk maju harus punya kekuatan figur. Di sini ada citra figur penerimaan dan elektabilitas juga. Lalu harus ada dukungan parpol, kekuatan kapital, dukungan media dan massa, dna juga dukungan internal partai.
Memunculkan nama tidak salah dalam tahapan pengenalan, belum tahapan pengiklanan. Ini bukan berarti nama yang muncul hanya tokoh yang itu-itu saja, bisa saja orang baru, tokoh muda. Seperti dulu saat SBY muncul yang disambut baik masyarakat dan media. Kalau sekarang SBY dimasukkan survei, saya kira masih nomor satu. Kalau ada konstituen dia yang solid, maka mereka pasti menunggu arah SBY menunggu siapa.
Sumber: Detiknews.