Gotong Royong JKN Hanya Slogan

Umi Lutfiah – Peneliti Sosial, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research.

Awal tahun 2018 Pemerintah Provinsi Banten telah menyiapkan Memorandum of Understanding (MoU) dengan 128 rumah sakit untuk merealisasikan “Program Kesehatan Gratis Berbasis KTP” bagi masyarakat yang belum terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Gubernur Banten menegaskan bahwa program ini tidak hanya wujud realisasi janji kampanye saja, namun lebih dari itu program ini wujud cita-cita pemerintah provinsi untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin.

Beberapa berita ramai membicarakan program ini. Awal Maret 2018, masih terdengar kabar bahwa pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menolak usulan program populis ini. Namun, secara mengejutkan akhir April 2018 akhirnya Kementerian Kesehatan memberikan lampu hijau kepada kubu Gubernur Banten untuk merealisasikan program tersebut.

Cederai Prinsip JKN

Pemerintah entah sadar atau tidak telah mencederai prinsip JKN yang telah mereka gagas beberapa tahun yang lalu. Buku Pegangan Sosialisasi JKN dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional secara jelas menyebutkan bahwa salah satu prinsip yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan JKN adalah prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini memberikan arti bahwa peserta JKN yang mampu akan membantu peserta yag kurang mampu. Sedangkan peserta yang sehat membantu peserta yang sakit. Bagaimana dengan kondisi saat ini?

Informasi di beberapa media menyebutkan alasan hadirnya program ini karena masih ada masyarakat miskin di Banten yang tidak bisa dilayani oleh BPJS Kesehatan. Belum lagi peraturan yang menyebutkan bahwa masyarakat di Banten tidak bisa berobat lintas daerah jika menggunakan BPJS Kesehatan dan harus mengikuti prosedur yang rumit. Melalui Program Berobat Gratis Berbasis KTP, masyarakat Banten bisa berobat di mana saja bahkan di luar Banten (mediabanten.com, 7/5).

Hal lain yang diungkapkan oleh salah satu anggota DPRD Banten adalah terkait keengganan pemerintah provinsi untuk menanggung iuran warga miskin selama 12 bulan. Skema ini dipandang merugikan bagi pemerintah provinsi (pemprov). Dengan skema ini, pemprov harus mengeluarkan dana sekitar Rp 400-Rp 600 miliar setahun termasuk untuk masyarakat miskin yang tidak berobat/ sakit. Padahal, jika pemprov hanya membiayai masyarakat miskin yang sakit, dana yang akan dikeluarkan hanya Rp100-Rp 200 miliar (mediabanten.com, 7/5).

Fakta tersebut menunjukkan bahwa prinsip JKN tidak dipahami bahkan oleh para pimpinan daerah. JKN dan BPJS Kesehatan sebagai salah satu pengelola jaminan kesehatan tidak akan dapat bertahan jika kondisi ini dibiarkan meraja lela. Prinsip gotongroyong yang didengungkan hanya akan menjadi tumpukan peraturan tanpa implementasi jika melihat fakta saat ini. Jika pemerintah daerah hanya mengikutkan peserta yang sakit dalam skema JKN, maka tidak heran jika sampai akhir tahun lalu defisit yang dialami BPJS Kesehatan menggemuk hingga Rp 9 triliun.

Implementasi Prinsip Gotong Royong JKN

Ibarat penyakit menular, membiarkan satu daerah merealisasikan program kerja yang jelas bertentangan dengan program nasional hanya akan memicu daerah lain dengan konsep yang sama. Bahkan, salah satu kandidat Gubernur Sulawesi Selatan 2018 NH-Aziz juga mengusung program serupa (merdeka.com, 7/5). Belum lagi di Kupang, NTT yang telah menganggarkan Rp 20 miliar untuk program kesehatan gratis berbasis KTP (bali.bisnis.com, 7/5).

Program nasional mencapai Universal Health Coverage 2019 hanya akan menjadi impian semata jika hal ini terus berlanjut. JKN hanya dapat berlangsung jika jaminan kesehatan daerah senantiasa terintegrasi dengan program JKN. Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan harus segera menolak dengan tegas program populis ini dan bahu membahu mengkampanyekan serta melakukan lobi kepada daerah agar sesegera mungkin melakukan Integrasi dengan JKN. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah ibarat ruh JKN. Jika ruh nya saja tidak ada, bukan kah JKN sama dengan orang yang tak bernyawa?

Umi Lutfiah, Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute, umi@theindonesianinstitute.com

Komentar