Gerakan Sipil Dunia Dalam Bahaya

Dunia kini berada pada titik dimana gerakan sipil mulai menjadi sebuah kemewahan karena ancaman yang semakin sering mengikutinya. Gelombang protes rakyat yang menuntut hak dan keadilan semakin menggema di berbagai belahan dunia sepanjang tahun 2025. Banyak sekali latar belakang yang memicu gerakan besar masyarakat sipil di negara-negara, mulai dari isu politik dalam negeri hingga luar negeri.

Sekitar 100.000 orang di Belanda dan 75.000 di Belgia mengikuti demonstrasi untuk menyuarakan penghentian operasi militer di Palestina (euro.news.com, 16/6/2025). Di Slovakia, demonstrasi juga dijalankan untuk menolak keberpihakan Perdana Menterinya yang bergeser keberpihakannya pada Rusia dan bukan Ukraina (euronews.com, 4/4/2025). Berkutat dengan isu domestik, massa di Spanyol bergerak menuntut keadilan untuk warga lokal dari kebijakan negara yang terlalu berpihak pada industri pariwisata dan mengancam keberlanjutan dan kesejahteraan hidup warga lokal (reuters.com, 16/6/2025).

Di Amerika, warga banyak melakukan perlawanan atas kebijakan Presiden Trump mulai dari efisiensi yang dianggap tidak memprioritaskan kesejahteraan hingga kebijakan imigrasi yang sangat diperketat (theguardian.com, 18/6/2025). Kemudian, di Indonesia sendiri yang telah melalui rangkaian demonstrasi besar, seperti Indonesia Gelap dan menolak Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia.

Namun, tidak jarang usaha-usaha masyarakat sipil ini ditindaklanjuti dengan ancaman, intimidasi, hingga penertiban yang tidak proporsional dari aparat penegak hukum sampai dengan pihak tidak dikenal. Contohnya untuk unjuk rasa di Kota Los Angeles, Amerika Serikat yang ditertibkan langsung oleh National Guard memunculkan kecaman organisasi hak asasi. Sama halnya juga di Indonesia, di mana kriminalisasi terhadap kritik terhadap pemerintah masih terjadi dan intimidasi di media sosial. Terkhusus di Indonesia, saat ini, Kejaksaan dan Tentara Nasional Indonesia sedang gencar mencari siapa orang yang menjadi ’penggerak’ dari gerakan RUU TNI yang dianggap berasal dari aktor bayaran (nasional.kompas.com, 20/6/2025).

Terlihat bahwa aparat penegak hukum masih memandang gerakan masyarakat sipil sebagai bentuk ketidakpatuhan dna menjadi ancaman bagi kestabilan dan keamanan negara. Di Indonesia, hal ini tercermin juga dalam pernyataan Presiden Prabowo Subianto sendiri yang mengatakan bahwa lembaga swadaya masyarakat di bidang demokrasi dan HAM merupakan orang yang dibayar ”asing” untuk mengadu domba masyarakat dan pemerintah (tempo.co, 10/6/2025). Gestur-gestur seperti ini memberi sinyal masyarakat sipil sudah tidak bisa lagi dengan bebas mengutarakan pendapatnya dan bergerak sebagai masyarakat sipil.

Harus diingat bahwa Indonesia adalah negara demokratis yang menghormati kebebasan berpendapat. Begitu pula negara-negara lain di dunia, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa. Tentu kebebasan berpendapat perlu diatur batasannya supaya tidak menyebabkan disinformasi atau gerakan kebencian yang berbahaya sebagaimana diatur oleh International Covenant on Civil and Political Rights. Namun, pengaturan dan pembatasan ini harus proporsional dan memerhatikan batasan-batasan yang lazim dalam HAM.

Upaya-upaya represi mengatasnamakan keamanan dan ketertiban tanpa upaya peninjauan yang proporsional, berkeadilan, dan berlandaskan “due process of law” tidak boleh ditoleransikan. Tidak bisa sewenang-wenang melakukan pemburuan dan penangkapan masyarkat sipil yang melakukan unjuk rasa baik secara langsung dan di media sosial. Ada HAM yang harus dihormati dan mekanisme penangkapan berdasarkan hukum yang harus diikuti. Aparat penegak hukum di Indonesia khususnya Kepolisian dan Kejaksaan perlu memahami bahwa pendekatan HAM itu penting dilakukan dalam menangani kasus unjuk rasa.

Masyarakat sipil yang berunjuk rasa bukan serta merta ingin membuat kerusuhan saja. Tapi ada masukan, kritik, kekhawatiran, dan keluh kesah untuk pemerintah di sana. Jika pemerintah bisa dengan baik mengakomodir pendapat-pendapat masyarakat, tentu situasi di lapangan akan semakin kondusif juga. Maka dari itu, tidak bisa hanya masyarakat sipil yang menahan diri untuk ”bersikap sopan”, tapi pemerintah juga harus mau mendengarkan dan berkomunikasi dengan baik supaya masyarakat tidak perlu berteriak untuk didengar.

 

Christina Clarissa Intania – Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute

christina@theindonesianinstitute.com 

Komentar