Gaduh Menteri dan Komunikasi Politik Pemerintahan Jokowi-JK

Arfianto Purbolaksono- Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute.

Arfianto Purbolaksono- Peneliti Bidang Politik, The Indonesian Institute.

Kegaduhan beberapa menteri Kabinet Kerja yang belakangan terjadi membuat Presiden geram. Melalui Juru Bicara Kepresidenan, Johan Budi SP, Presiden Joko Widodo melarang para menteri di Kabinet Kerja untuk tidak lagi rebut di ruang publik, terutama di media sosial (2/3).

Para pembantu Presiden yang seharusnya bekerja untuk kepentingan rakyat, malah asyik bersilang pendapat di hadapan publik. Kegaduhan ini mengikutsertakan beberapa menteri, sebut saja konflik antara Menteri ESDM Sudirman Said dan Menko Maritim Rizal Ramli. Di beberapa isu seperti Megaproyek 35.000 MW, Freeport, hingga yang terkahir Blok Masela. Perseteruan antara Rizal Ramli dan Sudirman Said juga kerap menyeret nama Wapres Jusuf Kalla.

Kedua, polemik antara Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Perdagangan Thomas Lembong mengenai kebijakan impor beras.  Amran mengatakan, selama setahun kepemimpinannya, Pemerintah RI tidak lagi mengimpor beras. Namun, Thomas justru berpendapat pemerintah masih bernegosiasi terkait rencana impor beras dari Vietnam dan Thailand.

Ketiga, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, perihal perizinan kereta cepat. Di satu sisi, Rini mendorong percepatan proyek. Namun, Jonan berusaha menjaga agar tidak ada hal yang dilanggar.

Kemudian keempat, polemik antara Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) Yuddy Chrisnandi dengan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung, tentang penilaian Rapor Menteri. Dimana Menteri Yuddy mengeluarkan nilai rapor para menteri ke media massa. Hingga akhirnya mengundang komentar dari Pramono, yang menyatakan Presiden Jokowi menyesali sikap tersebut.Menurut Pramono, Presiden tidak pernah memerintah Yuddy menyampaikan hasil evaluasi kinerja para menteri kepada publik.

Penulis melihat bahwa kerap terjadinya perbedaan pendapat diantara pembantu presiden di publik, menandakan lemahnya komunikasi politik pemerintah saat ini. Perbedaan pendapat ini memunculkan kebingungan publik, hingga membuat kegaduhan politik nasional. Akibatnya menurunkan kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah saat ini.

Penulis menilai komunikasi politik kabinet kerja memerlukan sebuah sinergi dari  para aktor politiknya dalam hal ini para menteri. Mengutip Dan Nimmo (1982, 14) bahwa politisi sebagai komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, terutama dalam pembentukan opini publik.

Opini publik yang dibentuk oleh pejabat publik haruslah bertujuan untuk kepentingan publik. Maka pada konteks ini para menteri sebagai pejabat publik haruslah menyampaikan pesan-pesan politiknya demi kepentingan publik, bukan untuk membuat kebingungan publik.

Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan para menterinya harus segera memperbaiki komunikasi politiknya,  guna meyakinkan khalayak bahwa pemerintahannya dapat dipercaya untuk memikul kepercayaan publik.

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar