”Kita menghendaki kehidupan demokrasi, tapi marilah kita sadar bahwa demokrasi kita harus demokrasi yang khas untuk Indonesia, demokrasi yang cocok untuk bangsa kita, demokrasi yang berasal dari sejarah dan budaya kita. Demokrasi kita harus demokrasi yang santun, demokrasi di mana berbeda pendapat harus tanpa permusuhan. Demokrasi di mana mengoreksi harus tanpa caci maki, bertarung tanpa membenci, bertanding tanpa berbuat curang. Demokrasi kita harus demokrasi yang menghindari kekerasan, yang menghindari adu domba, yang menghindari hasut-menghasut. Demokrasi kita harus demokrasi yang sejuk, demokrasi yang damai, demokrasi yang menghindari kemunafikan.” Ini adalah pernyataan langsung Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia, saat pelantikannya (20/10).
Satu paragraf yang membahas demokrasi impian Prabowo untuk Indonesia ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Selintas, hidup bermasyarakat yang rukun dan tidak bermusuhan dalam memberikan pendapat, merupakan hal yang ideal, namun juga sebuah utopia dalam kehidupan sebuah bangsa. Harapannya, semua orang tanpa terkecuali bisa bijak dalam memberikan pendapatnya, semua bisa cerdas dan mawas dalam bernegara. Namun, jika kita sedikit lebih teliti lagi, apa saja usaha dan harga yang harus dibayar untuk mencapai titik itu?
Sedikit jika kita mengingat kembali salah satu kriteria demokrasi ideal menurut Robert Dahl (1998) adalah masyarakat luas perlu memiliki pemahaman yang tercerahkan akan kebijakan dan pemerintahan. Namun, Christopher H. Achen dan Larry M. Bartels (2016) dalam bukunya ”Democracy for Realists”, mengungkap tidak ada negara yang bisa sempurna memenuhi kriteria ini dan kriteria Dahl lainnya.
Meminjam komentar Joseph Alois Schumpter, bahkan sejak tahun 1942, Schumpter mengatakan bahwa masyarakat pada umumnya sangat rawan untuk melakukan prasangka dan impuls yang extra-rasional atau irasional ketika berhadapan dengan situasi politis. Jika dibandingkan dengan aspek lain dalam hidup, kinerja mental masyarakat bisa menurun sesaat memasuki wilayah politik, yang mana menurut Schumpter bisa kekanak-kanakan.
Pernyataan Schumpter masih relevan dan bisa dibilang realistis hingga saat ini. Kita masih menemukan dengan mudah kritik yang beragam terhadap kebijakan dan pemerintahan di media sosial. Mulai dari yang konstruktif, sekedar memberitahukan perasaannya, menebar bersifat satir, menggunakan kata ’kasar’ dan agresif, memberitakan berita palsu untuk menjatuhkan satu pihak, sampai dengan membedakan kubu diri sendiri dengan kelompok pihak lain contohnya dengan menyebut ”Anak Abah” atau ”Kelompok 58%”.
Dalam negara demokrasi, ketidaksepakatan tentu bisa terjadi, dan tidak ada yang bisa mengatur bagaimana reaksi seorang individu terhadap sesuatu. Tidak semua akan menanggapi dengan bahasa ’santun’ dan bergandengan tangan, serta berpelukan hangat. Persepsi caci maki serta mengadu domba tidak memiliki parameter yang sama untuk semua orang, termasuk pemerintah. Jika dibutuhkan satu parameter untuk menjadi ’santun’, ’tidak mencaci maki’, ’tidak mengadu domba’, ’tidak hasut menghasut’, ’sejuk’, ’damai’, atau ’tidak munafik’, maka parameter ini akan dipegang oleh satu pihak, yaitu pemerintah. Di sinilah ekspresi akan dibatasi ke satu parameter ini. Padahal, penilaian ini sangat subyektif. Dengan kata lain, tidak ada yang bisa mengatur respons orang lain dalam mengkritik dan tidak semua orang bisa menanggapi kritik dengan persepsi yang seragam.
Jika berkaca pada situasi Indonesia, kriminalisasi pendapat akibat perbedaan persepsi mana kritik dan mana fitnah atau ujaran kebencian masih terjadi. Ini adalah salah satu problema yang masih belum terpecahkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dalam UU Nomor 19 tahun 2016 dan UU Nomor 1 Tahun 2024 (UU ITE). Kasus kriminalisasi pendapat seperti kasus Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti dan Daniel Tangkilisan menjadi dua pengingat bahwa bahkan dengan adanya UU ITE yang mengatur fitnah dan ujaran kebencian, pendapat masih bisa diartikan dengan berbagai macam oleh berbagai pihak.
Maka dari itu, perlu dipahami bahwa demokrasi memiliki rintangannya tersendiri, yaitu kebebasan individu yang tidak semuanya bisa dikontrol oleh pemerintah. Tidak semua orang punya kapabilitas dan kontrol setiap saat untuk menjadi ’sopan’, tidak bermusuhan, dan lain sebagainya yang dituntut oleh Presiden Prabowo Subiyanto. Apabila tuntutan tersebut diikuti dengan aksi nyata berupa pengaturan dan penegakan komprehensif tentang cara berdemokrasi yang ’sejuk’ dan ’damai’, tentu ini justru akan menjadi pembatasan kebebasan berpendapat karena pemerintah tentu tidak bisa mengontrol bagaimana cara seluruh rakyat Indonesia untuk berdemokrasi.
Pemerintah secara keseluruhan perlu fokus pada hal yang lebih penting, seperti menyalurkan kritik-kritik masyarakat ini menjadi hal yang bisa berdampak baik pada kebijakan. Suara kritis seharusnya dilihat sebagai bagian partisipasi publik dalam proses kebijakan dan masukan yang konstruktif.
Untuk itu, pemerintah perlu mengoptimalkan kanal-kanal yang bisa digunakan untuk menjangkau lebih banyak masukan, meningkatkan dialog antar pemerintah dan masyarakat, serta menghadirkan masyarakat sipil di tingkat yang lebih tinggi sebagai mitra untuk berkolaborasi dalam membentuk kebijakan yang mengutamakan kepentingan umum.
Dengan begitu, dinamika masyarakat sipil dan pemerintah dalam kehidupan bernegara akan berjalan dengan tetap menghargai kebebasan untuk berekspresi dan tidak membatasi suara-suara kritis.
Christina Clarissa Intania – Peneliti Bidang Hukum, The Indonesian Institute
christina@theindonesianinstitute.com