Pada beberapa tahun mendatang, atau tepatnya sepanjang tahun 2020 hingga 2030, Indonesia akan memperoleh bonus demografi (BPS, 2014). Bonus tersebut merupakan situasi dimana jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk yang belum produktif (15 tahun ke bawah) dan jumlah penduduk yang sudah tidak lagi produktif (di atas 64 tahun).
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat bahwa di tahun 2010, proporsi penduduk usia produktif adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031.
Kondisi seperti ini tentu sangat menguntungkan bagi negara yang memperoleh bonus demografi. Dengan banjirnya penduduk usia produktif, tidak dapat dielakan bahwa produktivitas negara akan mampu digenjot dengan maksimal hingga akhirnya mampu melambungkan pertumbuhan ekonomi. Secara normatif, dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan masyarakat pun akan turut mampu ditingkatkan dengan baik. Thailand, Tiongkok, Taiwan, dan Korea Selatan merupakan contoh negara yang berhasil memanfaatkan bonus demografi dengan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya sebesar 10 hingga 15 persen.
Sayangnya, selain mampu memberikan peluang kesejahteraan bagi masyarakat secara luas, bonus demografi dinilai juga akan menjadi bencana apabila tidak dikelola dengan baik. Salah satu contoh konkret dari potensi masalah yang ada adalah pengangguran. Jumlah angkatan kerja yang banyak tentu memerlukan kesempatan kerja yang juga besar. Apabila kedua hal ini tidak seimbang, pengangguran akan semakin banyak terlihat. Konsekuensi dari hal ini tentu berimbas kepada tindak kriminalitas dan masalah sosial turunan lainnya dari pengangguran itu sendiri.
Dengan ini penting rasanya bagi seluruh pihak untuk merencanakan strategi tepat guna agar bonus demografi dapat dimanfaatkan secara optimal. Tentu bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Pihak lainnya, seperti akademisi, pebisnis, hingga masyarakat sipil juga perlu ikut bersama-sama dalam mempersiapkan Indonesia untuk memanfaatkan bonus demografi ini.
Salah satu hal yang dapat diintervensi dalam menikmati bonus demografi adalah pembangunan manusia. Program-program yang dijalankan oleh pemerintah sudah sewajarnya mampu meningkatkan modal manusia bagi seluruh warga negara. Tujuannya tentu menjadikan Indonesia sebagai negara yang produktif dan kompetitif.
Setidaknya terdapat tiga hal penting yang cukup krusial untuk diperhatikan dalam menjawab tantang bonus demografi. Ketiga poin tersebut adalah jaminan sosial, peningkatan pendidikan, dan investasi untuk penyediaan lapangan kerja. Apabila ketiga hal tersebut, setidaknya, dibenahi oleh pemerintah, menjadikan Indonesia sebagai negara maju bukanlah hal yang mustahil.
Hal pertama adalah jaminan sosial. Di Indonesia implementasi jaminan sosial sudah mulai dijalankan oleh pemerintah, baik di bidang kesehatan maupun ketenagakerjaan. Dengan terjaminnya kesejahteraan masyarakat, tentu produktivitas masyarakat dapat ditingkatkan dengan baik pula. Melihat kondisi ini, sayangnya, pelaksanaan jaminan sosial di dalam negeri masih menuai banyak masalah, seperti misalnya pada jaminan kesehatan nasional.
Menurut studi yang telah dilakukan oleh LPEM FEBUI tahun 2015, premi pembayaran peserta mandiri tidak berjalan dengan baik. Hal ini berimbas pada defisitnya BPJS Kesehatan hingga pemerintah harus menyuntikan dana sebesar 6 triliun rupiah. Apabila hal ini terus berjalan, bukannya tidak mungkin jaminan sosial akan menjadi beban fiskal utama dalam APBN mendatang. Pembenahan pembayaran tentu perlu dilakukan agar jaminan kesehatan nasional dapat terus bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Selanjutnya adalah persoalan pendidikan. Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, dalam diskusi publik yang diadakan oleh The Indonesian Institute februari 2016, memaparkan bahwa pada saat ini sebagian besar angkatan kerja Indonesia masih berada pada jenjang SMP. Padahal semakin tinggi jenjang pendidikannya, produktivitasnya juga akan meningkat pula. Hal ini tentu membutuhkan investasi dana dan waktu yang cukup besar untuk dikeluarkan. Namun, dipercaya dengan memperbaiki poin ini, tenaga kerja Indonesia tentu akan menjadi tenaga kerja yang produktif.
Sebenarnya, dalam rangka membantu masyarakat untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih tinggi, pemerintah telah menjalankan program wajib belajar sembilan tahun, terlebih di daerah-daerah tertentu wajib belajar sudah ditingkatkan hingga 12 tahun untuk masyarakat. Selain pendidikan hingga tingkat menengah, pemerintah juga telah memberikan Beasiswa Bidik Misi untuk jenjang sarjana dan Beasiswa Pendidikan Indonesia untuk program paska sarjana. Kesempatan ini tentu perlu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk meningkatkan kapasitas dirinya, sehingga mampu berkompetisi pada era yang akan datang.
Selain dari sisi penawaran, penting juga untuk melihat sisi permintaan di pasar tenaga kerja. Kesempatan yang diberikan untuk angkatan kerja juga harus turut ditingkatkan. Pemerintah harus pintar berinovasi dalam menarik investasi, baik investasi asing langsung, maupun yang berasal dari dalam negeri. Menjaga iklim investasi agar tetap kondusif merupakan salah satu langkah tepat yang perlu diperjuangkan bersama oleh seluruh pihak berkepentingan agar kesempatan kerja semakin terbuka lebar.
Melalui ketiga hal ini, penulis berkeyakinan bahwa bonus demografi mampu dimanfaatkan oleh Indonesia. Pada akhirnya mimpi untuk menjadikan Indonesia Emas 2045 adalah hal yang sangat mungkin untuk dicapai.
Muhammad Reza Hermanto, Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research. reza@theindonesianinstitute.com