JAKARTA – Tak sedikit para pengguna jejaring internet menggunakan media sosial (medsos) untuk menyebarluaskan ujaran kebencian ke tengah masyarakat. Sehari lalu, Denin (26/2), aparat kepolisian berhasil menangkap empat anggota kelompok Muslim Cyber Army (MCA) yang tergabung dalam grup di aplikasi pesan Whatsapp, ‘The Family MCA’ di empat provinsi berbeda, yakni Jakarta, Bandung, Bali, Pangkal Pinang, dan Palu dalam waktu bersamaan.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Fadil Imran, Selasa (27/2), mengatakan, ke empat tersangka diduga kerap menyebarkan isu provokatif yang bernuansa ujaran kebencian di medsos.
Berdasarkan data yang dimiliki pihaknya, Fadil mengungkapkan, para pelaku kerap menyebarkan ujaran kebencian terkait kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), penculikan Ulama, dan pencemaran nama baik presiden, pemerintah serta tokoh-tokoh tertentu.
“Termasuk menyebarkan virus yang sengaja dikirimkan kepada orang atau kelompok lawan yang berakibat dapat merusak perangkat elektronik bagi penerima,” kata Fadil.
Inisial keempat tersangka, yakni ML (ditangkap di Sunter, Jakarta Utara), RSD (ditangkap di Bangka Belitung), RS (ditangkap di Jembrana, Bali) dan Yus (ditangkap di Sumedang, Jawa Barat). Para pelaku diduga dengan sengaja menunjukan kebencian kepada orang lain berdasarkan diskriminasi Suku Agama Ras dan Antaragolongan (SARA).
“Atau dengan sengaja dan tanpa hak menyuruh melakukan tindakan yang menyebabkan terganggunya sistem elektronik dan atau membuat sistem elektronik tidak bekerja sebagaimana mestinya,” tukasnya.
Atas perbuatannya, keempat tersangka dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 45A Ayat (2) Jo Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal Jo Pasal 4 huruf b angka 1 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan/atau Pasal 33 UU ITE.
Sementara itu, peneliti The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono menghimbau, kepada seluruh pihak harus mewaspadai kemungkinan terjadinya peningkatan praktik ujaran kebencian dalam tahun politik 2018-2019.
“Semakin dekat dengan agenda kontestasi politik, maka ujaran kebencian akan semakin meningkat. Ujaran kebencian digunakan sebagai salah satu strategi kampanye untuk menyerang dan menjatuhkan lawan politik,” ujar Arfianto seperti dikutip dari Antara.
Selain itu, Arfianto mengungkapkan, Amnesty Internasional Indonesia telah memprediksi, ujaran kebencian masih akan terjadi pada 2018-2019. Di mana, pada periode 2018-2019 Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah dan pemilihan umum (pemilu) serentak.
Menurutnya, ujaran kebencian yang terjadi di Indonesia, terjadi dalam bentuk isu, misalnya tuduhan adanya kebangkitan PKI serta ujaran kebencian berbasis sentimen agama. Oleh karena itu, ia berpandangan, ujaran kebencian dan tindak intoleransi pertama kali marak terjadi pada Pemilu Presiden 2014.
Contohnya, iklan yang berjudul rest in peace Jokowi, yang mana dalam iklan tersebut Jokowi dikatakan telah meninggal dunia pada 4 Mei 2014 pukul 15.30 WIB. Selain itu, adanya isu yang menyebutkan Prabowo Subianto memiliki gangguan kejiwaan atau psikopat.
Ujaran kebencian kemudian makin marak selama Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Berawal dari kasus tuduhan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur petahana Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang mendorong meningkatnya ujaran kebencian, mengaitkan isu SARA selama penyelenggaraan pilkada setempat.
“Akibat kejadian tersebut, menurut Economist Intelligence Unit, Indeks Demokrasi Indonesia pada 2017 merosot 20 peringkat dari posisi 48 ke posisi 68,” tandasnya.
Sumber: Validnews.co.