Anak Dengan Gangguan Perkembangan dan Pemenuhan Hak atas Pendidikan

Penyandang disabiltas mental terutama disabilitas dengan gangguan perkembangan, seperti autis dan hiperaktif patut menjadi perhatian. Di Indonesia, pada tahun 2013 diperkirakan terdapat lebih dari 112.000 anak yang menderita autisme dalam usia 5-19 tahun. Permasalahan menonjol muncul justru pada pendamping yang memiliki pemahaman yang minim mengenai disabilitas gangguan perkembangan serta pemenuhan hak atas pendidikan.

Anak dengan gangguan perkembangan masuk dalam katagori anak berkebutuhan khusus, yakni  anak yang secara signifikan (bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan emosional dalam proses pertumbuhan/ perkembangannya.  Dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Autisme merupakan gangguan perkembangan yang kompleks meliputi gangguan komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imaginatif. Gangguan ini mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang termasuk autisme infantil gejalanya sudah muncul sejak lahir. Adapun  gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH) merupakan gangguan yang muncul pada anak dan dapat berlanjut hingga dewasa. Gejalanya meliputi gangguan pemusatan perhatian dan kesulitan untuk fokus, kesulitan mengontrol perilaku, dan hiperaktif (overaktif). Gejala ini nampak sebelum usia 7 tahun dan bertahan minimal selama 6 bulan.

Keduanya memiliki perbedaan. Anak autis cenderung fokus pada dunianya sendiri sehingga tidak ada perhatian ketika diajak komunikasi, sedangkan Anak Hiperaktif cenderung tidak mau diam sehingga tidak ada perhatian ketika diajak komunikasi.

Agar anak dengan kedua gangguan perkembangan dapat tumbuh sebagaimana anak-anak lainnya, perlu penanganan khusus yang membutuhkan perhatian lebih. Banyak kasus menunjukkan orang tua yang tidak memiliki pemahaman yang baik mengenai gangguan perkembangan  berakibat fatal ketika dewasa. Anak menjadi tidak mandiri dan sangat tergantung kepada orang lain.

Sejumlah hasil penelitian mengemukakan, minimnya pengetahuan orang tua dan pendamping dari keluarga terdekat mengenai kondisi anak atau saudaranya. Hasil penelitian Ahmad Nur Wijaya dari Fakultas Ilmu Kesehatan, UMS di 2013 yang dilakukan terhadap  6 anak yang mengalami autis, hanya satu orang yang mengenal gangguan perkembangan ini. Kelima orang tua lainnya yang minim pengetahuan teridentifikasi melakukan pola pengsuhan yang keliru yang tidak jarang melakukan kekerasan terhadap anak.

Akibat minimnya pengetahuan, orang tua atau anggota keluarga lain yang terdekat dengan anak autis atau hiperaktif tidak memberikan motivasi pada anak untuk berkembang dengan baik. Sebagian besar orang tua dan pihak keluarga pasarh dan beranggapan bahwa mereka tidak memiliki harapan atau cita-cita sebgaimana anak lainnya.

Tulisan ini tidak hendak menyampaikan bagaimana pola asuh terhadap anak dengan gangguan perkembangan, tetapi lebih menekankan bahwa gangguan perkembangan merupakan penyandang disabilitas mental yang wajib mendapatkan hak atas pendidikan.

Negara cq pemerintah sebagai pemangku kewajiban sebagaimana diamanatkan  Undang-Undang Nomor 8 tahun 2018 tentang Penyandang Disabilitas wajib memenuhi dan melindungi hak-hak penyandang disabilitas mental,  dan sampai saat ini, kebijakan negara masih terkonsentrasi pada pendidikan melalui sekolah luar biasa (SLB). Meski terdapat juga program kesehatan berupa terapi Wicara, Sensory, Integrasi dan Okupasi yang dilaksanakan di beberapa rumah sakit dengan menggunakan BPJS.

Diluar segala kritik terhadap SLB, keberadaannya masih dibutuhkan. Kebijakan terkait sekolah inklusi seharusnya bisa lebih dimaksimalkan agar anak-anak dengan gangguan perkembangan bisa ikut proses belajar dan mengajar bersama anak-anak lain yang tidak mengalami gangguan perkembangan.

Sekolah inklusif sudah menjadi bagian dari program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, dan jika dilaksanakan sesuai konsepnya maka pihak sekolah wajib menerapkan reasonable accomodation atau akomodasi yang layak sebagaimana disebutkan di dalam UU 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Akomodasi yang layak diantaranya adalah pemahaman yang baik pihak sekolah terhadap anak dengan ganggan perkembangan, tersedianya sarana dan prasarana bagi seluruh siswa sesuai kondisinya.

Pemahaman yang baik pihak sekolah terhadap kekhususan siswanya diharapkan dapat menurunkan bullying terhadap anak dengan gangguan perkembangan. Sampai saat ini tindakan bullying terhadap anak dengan gangguan perkembangan masih kerap terjadi sebagaimana disampaikan pada kegiatan diskusi ahli yang diselenggarakan KPPPA pada akhir September 2018 lalu.

 

Yossa Nainggolan, Manager Penelitian dan Program The Indonesian Institute, yossa@theindonesianinstitute.com

Komentar