Kekerasan seksual harus dapat ditangani bersama secara komprehensif. Melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 (UU 12/2022) tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diharapkan agar korban memperoleh hak dan keadilannya selama penanganan kasus. Begitu pula dengan pelaku kasus kekerasan yang diharapkan mendapatkan penghukuman yang setimpal. Pasca disahkan, UU TPKS juga menghasilkan 3 rancangan peraturan pemerintah (PP) dan 4 empat rancangan peraturan presiden (Perpres). Salah satu ranperpres yang telah disahkan adalah Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ada masih banyak peraturan turunan yang belum disahkan. Namun, pelaksanaan UU TPKS hendaknya berpijak pada upaya penegakan keadilan dan pemulihan korban.
Penghukuman pelaku kasus kekerasan seksual sebelum disahkannya UU 12/2022 masih merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, KUHP tersebut hanya mengatur kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan, pencabulan dan pelanggaran kesusilaan. Padahal, pada perkembangannya, saat ini bentuk kejahatan seksual telah bertransformasi ke dalam bentuk dan jenis kekerasan seksual yang lain. Kekerasan seksual berbasis media sosial misalnya. Banyak kekerasan yang terjadi khususnya terhadap perempuan dimulai dari hasil interaksi virtual yang dilakukan korban dan pelaku.
Selain itu, narasi penghukuman berat terhadap kasus kekerasan seksual telah diketahui masyarakat seperti pengebirian hingga hukuman mati. Namun, hal ini masih memantik perdebatan di tengah masyarakat yang mengukur keadilan pada perspektif yang berbeda. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mengidentifikasi bentuk penghukuman alternatif yang tidak hanya diakui oleh negara, namun juga secara sosial. Lebih lanjut, pentingnya penghukuman efektif dan berdampak pada pelaku kekerasan seksual mengajarkan bahwa kekerasan seksual merupakan bentuk kejahatan yang tidak dapat ditoleransi dan dinormalisasi. Untuk membahas persoalan di atas, The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) menggelar diskusi publik daring yang akan membahas implikasi putusan hukum kepada pelaku kekerasan seksual merujuk pada UU TPKS.
Bahan Diskusi:
- Bagaimanakah implikasi putusan hukum kepada pelaku kekerasan seksual pasca UU TPKS?
- Bagaimanakah standar penegakan penghukuman yang berkeadilan di tengah masih terjadinya disparitas putusan hukum antar pengadilan?
- Bagaimanakah bentuk penghukuman yang efektif dan berdampak dalam mencegah dan menurunkan tingkat kejahatan seksual?
- Rekomendasi kebijakan apa yang dapat didorong untuk menciptakan ekosistem yang aman dari kekerasan seksual dan memberi efek jera yang tegas kepada pelaku kekerasan seksual?
Pengantar diskusi oleh:
- Dewi Rahmawati Nur Aulia (Peneliti Bidang Sosial, The Indonesian Institute)
- Andy Yentriyani (Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan)
- Marsha Maharani (Peneliti Indonesia Judicial Research Society)
Download Rangkuman, Materi dan dokumentasi TIF seri 107: