Kemerdekaan Indonesia tujuh puluh tahun yang lalu, merupakan tonggak sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Dalam sepanjang sejarah perjalanan bangsa ini, selalu terdapat badai yang mencoba merobek kebhinekaan dalam satu ikatan persatuan.
Salah satunya dengan menebarkan konflik yang berlatar belakang agama. Peristiwa perusakan rumah ibadah, pelarangan pendirian rumah ibadah, hingga pelarangan terhadap kelompok-kelompok minoritas, menjadi sebuah ancaman bagi utuhnya persatuan dan kesatuan bangsa ini. Berdasarkan peristiwa yang terjadi diatas, titik tolak dari konflik ini adalah hubungan agama dan negara. Hal ini karena melibatkan antara otoritas negara dengan warga negara.
Sebagai negara yang mayoritas penduduknya menganut agama serta kepercayaan. Agama seharusnya menjadi salah satu modal sosial bagi perkembangan dalam masyarakat di Indonesia. Telah lama Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary Form of Religious Life, mengatakan; agama secara langsung telah berevolusi dari agama kesukuan menjadi civil religion.
Dalam hal ini Durkheim berpendapat bahwa semua masyarakat memerlukan suatu gabungan yang terdiri dari sistem ajaran dan simbol, norma-norma dan nilai-nilai, sebagai identitas nasional yang berperan sebagai civil religion baru bagi masyarakat modern.
Agama tidak lagi dipandang sebagai sesuatu hal yang irrasional, intoleran, dan kaku. Agama sebagai fakta sosial yang tumbuh di masyarakat dapat mempengaruhi perkembangannya. Agama yang bersifat formalistik bertransformasi menjadi civil religion, yang lebih menghargai pluralitas, egaliterian, dan liberal.
Dalam kajian hubungan budaya politik dan demokrasi, diakui bahwa agama memiliki peran yang positif terhadap keduanya. Alexis Tocqueville mengungkapkan bahwa agama (sebagai nilai dan asosiasi) secara positif mempengaruhi demokrasi contohnya seperti di Amerika Serikat. Agama berperan menciptakan kegairahan dan motivasi yang abadi karena ia merupakan sebuah sistem nilai. Interakasi agama dan politik ini yang akhirnya memunculkan kegairahan dan motivasi bagi kepentingan umat manusia.
Melihat adanya hubungan yang saling bersinergis tersebut. Institusi keagamaan di Indonesia seharusnya memiliki peluang untuk menjadi penggerak utama dalam penguatan demokrasi, religious groups often support democracy (Kalyvas,1998, 2000; Linz, 1978). Institusi keagamaan yang terbuka dan menghargai nilai-nilai pluralism menjadi modal dasar untuk membangun civil religion guna mendukung penguatan demokrasi Indonesia. Penguatan demokrasi dilakukan dengan pendidikan demokrasi bagi masyarakat.
Pendidikan demokrasi berawal dari membangun kesadaran berdemokrasi itu sendiri. Menurut Wolin, “To become a democrat is to change one’s self, to learn how to act collectively, as a demos. It requires that the individual go “public” and thereby help to constitute a “public” and a “open” politics, in principle accessible for all to take part in it, and visible so that all might see or learn about the deliberation and decision making occuring in public agencies and institusion “(Sheldon S Wolin, 2008: 289).
Dengan kesadaran berdemokrasi yang berlandasakan etika moral agama yang lebih terbuka diharapkan dapat mendorong perubahan di masyarakat. Bukan berdasarkan subjektivitas ideologi, melainkan berorientasi jauh ke depan, demi kepentingan bangsa dan negara. Karena hal inilah yang akan menentukan, keberlanjutan demokrasi guna merawat kebhinekaan di Indonesia.
Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik di The Indonesian Institute, Center for Public Policy and Research. arfianto@theindonesianinstitute.com