100 Hari Ahok: Antara Hak Angket Dan Transparansi Keuangan Daerah

Kamis 26 Februari 2015 menjadi penanda seratus hari kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (atau biasa dipanggil Ahok) di DKI Jakarta. Selama memimpin DKI Jakarta, mantan Bupati Belitung Timur ini, tidak lepas dari kontroversi. Kini tepat di 100 hari masa kerjanya, Ahok kembali terseret kontroversi.

Polemik belum disahkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015 menjadi pangkal konflik antara Ahok dengan DPRD DKI Jakarta. Kini hubungannya dengan DPRD DKI Jakarta semakin memanas.

Sebanyak 106 anggota DPRD DKI Jakarta menandatangani pengajuan hak angket (penyelidikan). Hak angket pun digulirkan oleh DPRD DKI Jakarta kepada Ahok. Hak angket bertujuan untuk menyelidiki kesalahan Pemprov DKI Jakarta dalam mengajukan dokumen APBD ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Kemudian konflik ini semakin meruncing ketika Ahok mengungkapkan adanya dugaan “anggaran siluman” sebesar Rp 12,1 triliun yang dimasukkan ke dalam APBD DKI 2015 seusai disahkan oleh DPRD DKI Jakarta.

Salah satunya ialah untuk pembelian perangkat Uninterruptible Power Supply (UPS) untuk sejumlah sekolah, kantor kelurahan serta kecamatan. Pengadaan UPS dianggap berlebihan dari segi harga dan bukan menjadi program yang prioritas.

Dalam norma anggaran sektor publik, anggaran daerah haruslah mengacu pada prinsip prinsip yaitu, prinsip keadilan anggaran, prinsip  efisiensi dan efektifitas anggaran, prinsip anggaran berimbang dan defisit, prinsip disiplin anggaran, prinsip transparansi dan akuntabiltas anggaran (Halim 2001).

Melihat konflik antara Ahok dan DPRD DKI Jakarta mengenai pembahasan APBD, penulis menilai hal ini seharusnya dapat menjadi pembelajaran bagi pengelolaan keuangan daerah.

Pembahasan anggaran seharusnya bukan lagi menjadi ruang gelap transaksi antara eksekutif dan legislatif. Dimana seringkali berujung pada korupsi APBD secara berjamaah.

Seperti yang kita ketahui data pelaku korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa sepanjang 2004-2014 yaitu sebanyak 58 kasus dilakukan oleh kepala daerah. Sedangkan untuk DPR/DPRD sebanyak 78 kasus.

Maraknya kasus korupsi yang menyeret pemimpin politik di daerah (baik eksekuitif dan legislatif) disebabkan karena rendahnya transparansi pengelolaan keuangan daerah (dari pembahasan hingga pelaksanaan).

Prinsip transparansi haruslah lebih dikedepankan guna terwujudnya good and clean governance. Political will pemimpin daerah seperti Ahok untuk menerapkan transparansi haruslah dicontoh, walaupun harus menghadapi tekanan DPRD.

Arfianto Purbolaksono, Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research

arfianto@theindonesianinstitute.com

Komentar